Tuesday, January 17, 2017

√ Laporan Pendahuluan Difteri

DIFTERI


Difteri yakni penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae yang berasal dari membran mukosa hidung nasofaring, kulit, dan lesi lain dari orang yang terinfeksi.

Patofisiologi
-          Kuman berkembang biak pada kanal nafas atas, dan sanggup juga pada vulva, kulit, mata walaupun jarang terjadi.
-          Kuman membentuk pseudo membran dan melepaskan eksotoksin. Pseudo membran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring dan kanal nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
-          Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menimbulkan terjadinya miokarditis dan timbul paralisis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
-          Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akhir dari pseudo membran pada laring dan trakea dan sanggup menimbulkan kondisi yang fatal.

Komplikasi
-          Miokarditis (minggu ke-2)
-          Neuritis
-          Bronkopneumonia
-          Nefritis
-          Paralisis


Etiologi
-          Corynebacterium diphteriae, kuman berbentuk batang gram negatif


TONTON VIDIO DIBAWAH INI
Manifestasi Klinis
-          Khas adanya pseudo membran
-          Lihat dari alur atau jaras patofisiologi
Penatalaksanaan Terapeutik
-          Pemberian oksigen
-          Terapi cairan
-          Perawatan isolasi
-          Pemberian antibiotik sesuai program

Penatalaksanaan Perawatan
Pengkajian
-          Riwayat keperawatan ; riwayat terkena penyakit infeksi, status immunisasi
-          Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal, tonsil/faring, dan laring
-          Lihat dari manifestasi klinis menurut alur patofisiologis

Diagnosa Keperawatan
1.      Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berafiliasi dengan obstruksi pada halan nafas
2.      Resiko penyebarluasan infeksi berafiliasi dengan organisme virulen
3.      Resiko kurangnya volume cairan berafiliasi dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun)
4.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berafiliasi dengan intake nutrisi yang kurang.

Perencanaan
1.      Anak akan memperlihatkan tanda-tanda jalan nafas efektif
2.      Penyebarluasan infeksi tidak terjadi
3.      Anak memperlihatkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi
4.      Anak akan mempertahankan keseimbangan cairan

Implementasi
Asuhan Keperawatan Pada Anak
1.      Meningkatkan jalan nafas eketif
-          Kaji status pernafasan, observasi irama dan bunyi pernafasan
-          Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi
-          Suction kepala dengan posisi ekstensi
-          Suction jalan nafas kalau terjadi sumbatan
-          Berikan oksigen sebelum dan sehabis dilakukan suction
-          Lakukan fisioterapi dada
-          Persiapkan anak untuk dilakukan trakeostomi
-          Lakukan investigasi analisa gas darah
-          Lakukan intubasi kalau ada indikasi
2.      Perluasan infeksi tidak terjadi
-          Tempatkan anak pada ruang khusus
-          Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit
-          Gunakan mekanisme proteksi infeksi kalau melaksanakan kontak dengan anak
-          Berikan antibiotik sesuai order
3.      Kekurangan volume cairan tidak terjadi
-         Memonitor intake output secara tepat, pertahankan intake cairan dan elektrolit yang tepat
-         Kaji adanya tanda-tanda kekurangan cairan tubuh (membran mukosa kering, turgor kulit kurang, produksi urin menurun, frekuensi denyut jantung dan pernapasan meningkat, tekanan darah menurun, fontanel cekung).
-         Kolaborasi untuk sumbangan cairan parenteral kalau sumbangan cairan melalui oral tidak memungkinkan
4.      Meningkatkan kebutuhan nutrisi
-          Kaji ketidakmampuan anak untuk makan
-          Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak
-          Kolborasi untuk sumbangan nutrisi parenteral
-          Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat tubuh lingkar lengan, membran mukosa) yang adekuat.

Perencanaan Pemulangan
-          Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, imbas samping
-          Melakukan immunisasi kalau immunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur
-          Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadual
-          Informasikan kalau terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan

Difteri
Difteri merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae.
Etiologi. Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loeffler) merupakan hasil gram aktual tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis.
Epidemiologi. Difteri tersebar diseluruh dunia, tetapi insidens penyakit ini menurun secara menyolok sehabis penggunaan toksoid difteri secara meluas sehabis Perang Dunia II.
Diteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri.
Patogenesis dan Patologis. Difteri diawali oleh masuknya C. Diphtheriae kedalam hidung atau verbal dimana basil akan menetap pada permukaan mukosa kanal napas pecahan atas. Kadang-kadang kulit atau membran mukosa mata atau kelamin bertindak sebagai tempat lokalisasi . sehabis masa inkubasi selama 2-4 hari, strain-strain yang terinfeksi oleh kuman ofaga mengeluarkan toksin, yang pada awalnya akan diserap kedalam membran sel, kemudian menembus membran dan mengganggu proses sintesis protein didalam sel bakteri.
Toksin sanggup merusak organ-organ atau jaringan-jaringan tetapi terutama yakni lesi-lesi yang mengenai jantung, susunan saraf dam ginjal. Walaupun anti toksin difteri sanggup menetralkan toksin yang beredar tetapi bila toksin telah diserap oleh sel, maka antitoksin menjadi tidak efektif. Setelah toksin menempel pada jarigan, maka terjadi masa laten yang berbeda-beda, sebelum terjadinya manifestasi-manifestasi klinis. Miokarditis biasnaya ditemukan 10-14.
Manifestasi-manifestasi klinis. Tanda-tanda dan gejala-gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan pejamu dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki sistem peredaran darah atau belum.
Masa tunas penyakit berkisar antara 1-6 hari. Difteri, secara klinis diklasifikasikan menurut lokalisasi anatomi infeksi awal dan membran difteri (nasal, tonsil, faring, laring atau laringotrakea, konjungtiva, kulit dan genital).
Difteri nasa mula-mula ibarat penyakit selesma dan ditandai dengan sedikit tanda-tanda sistemis. Secara-berangsur-angsur sekret hidung menjadi serosanguinosa kemudian menjadi mukopurulen dan menimbulkan ekskoriasi cuping hidung dan bibir pecahan atas. Timbul wangi busuk dan pada investigasi yang secama memperlihatkan adanya membran putih pada septum nasi. Penyebaran toksin yang lambat disertai berkurangnya gejala-gejala sistemis, sering menimbulkan keterlambatan penegakan diagnosis yang tepat. Bentuk penyakit ini paling sering ditemukan pada bayi.
Difteri tonsil dan faring dimulai sebagai penyakit yang tersamar tetapi merupakan bentuk yang lebih berat. Mula-mula terjadi anoreksia, matese, demam ringan dan faringitis.
Perjalanan penyakit difteri faring tergantung pada luasnya membran dan banyaknya toksin yang dihasilkan. Pada perkara berat sanggup terjadi kegagalan sistem pernapasan dan sistem peredaran darah. Peningkatan denyut nadi tidak sebanding dengan suhu badan, yang umumnya tetap normal atau mengalami sedikit peningkatan. Dapat terjadi pula kelumpuhan palatum. Bila hal ini terjadi hanya pada satu sisi maka palatum akan berdeviasi menjauhi sisi yang mengalami kelumpuhan ; kalau kelumpuhan timbul pada kedua sisi maka sanggup terjadi bunyi sengau, regurgitasi pada hidung dan kesukaran menelan.
Diagnosis. Diagnosis sebaiknya ditegakkan menurut hasil temuan-temuan klinis, lantaran setiap keterlambatan pengobatan merupakan ancaman besar bagi penderita.
Tes Schick. Tes kulit ini dipakai untuk memilih status kekebalan penderita. Tes ini sanggup membantu diagnosis dini, lantaran hasil tes tersebut belum sanggup dibaca hingga beberapa hari kemudian, tetapi tes ini berkhasiat untuk menentukkan kerentanan para kontak dan pada diagnosis serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan.
Diagnosis Banding. Bentuk-bentuk difteri nasal ringan pada para pejamu dengan kekebalan parsial sanggup ibarat selesma. Bila terdapat sekret hidung lebih bersifat serosanguinosa atau purulen, maka difteri nasal harus dibedakan dari benda aneh yang mungkin terdapat didalam hidung, sinusitis, adenoiditis atau “bindeng” pada sifilis kongenital. Pemeriksaan hidung yang secama dengan spekulum hidung, roentgenogram sinus dan tes-tes serologis sifilis sanggup menyingkirkan gangguan-gangguan ini.
Penyulit-penyulit. p3nsilin yang dipakai untuk membasmi C. diphtheriae berhasil menurunkan frekuensi penyulit-penyulit kuman sekunder secara bermakna, terutama penyakit streptokokus.
Pencegahan. Imunisasi. Tindakan pencegahan yang paling efetif terhadap difteri yakni imunisasi aktif. Agen yang lebih disukai untuk bawah umur berusia kurang dari 6 tahun yakni toksoid difteri, yang diberikan dalam kombinasi dengan tetanus toksoid dan antigen pertusis (DPT).
Imunisasi primer bagi bawah umur berusia lebih dari 6 tahun sanggup dilakukan dengan mempergunakan vaksin difteri tipe remaja dan toksoid-serap tetanus (TD).
Para kontak. Pencegahan difteri juga tergantung pada isolasi penderita untuk memperkecil penyebaran penyakit dan pada penatalaksanaan para kontak yang telah diketahui. Penderita tetap berhasil dibiakkan dari tempat infeksi ; diharapkan 3 kali biakan berturut-turut dengan hasil negatif sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.
Pengobatan. Pengobatan difteri terdiri atas netralisasi toksin bebas dan pemberantasan C. diptheriae dengan antibiotika. Satu-satunya pengobatan spesifik yakni antitoksin yang berasal dari kuda. Antitoksin sebaiknya diberikan menurut tempat membran berada, derajat toksisitas dan lamanya penyakit.

Difteria
Penyakit difteria yakni suatu infeksi akut yang gampang menular, dan yang sering diserang terutama kanal pernapasan pecahan atas, dengan tanda khas timbulnya “pseudomembran”. Kuman juga melepaskan eksotoksin yang sanggup menimbulkan tanda-tanda umum dan lokal.
Terdapat 3 jenis basil, yakni bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan biar (agar-agar) darah yang mengandung kalium telurit. Basil difteria memiliki sifat :
1.      Membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, gampang berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang mencakup tempat yang terkena, terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
2.      Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan sanggup meracuni jaringan sehabis beberapa jam diserap dan memperlihatkan citra perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf (toksin ini amat ganas ; 1/50 ml toksin sanggup membunuh kelinci).

Patogenesis
Kuman hidup dan berkembang biak pada kanal napas pecahan atas, tetapi sanggup juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar dari faring, tonsil, laring dan kanal napas atas, kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menimbulkan miokarditis toksik atau kalau mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernapasan. Toksin juga sanggup menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang sanggup menimbulkan timbulnya nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan napas akhir pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung lantaran terjadi sumbatan jalan napas akhir pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung lantaran terjadi miokarditis, atau gagal napas akhir terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit diferia yakni melalui udara (droplet infection), tetapi juga sanggup perantaraan alat/benda yang tercemar oleh kuman difteria. Penyakit sanggup mengenai bayi tetapi kebanyakan pada anak usia balita. Penyakit difteria sanggup berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya hasil, dan daya tahan sembuh anak. Bila ringan, hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta sanggup menimbulkan kekebalan pada anak kalau daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien yang tiba berobat sering dalam keadaan berat mirip lelah adanya bullneck atau sudah stridor dan dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit lantaran memiliki resiko terjadi komplikasi mirip miokarditis atau sumbatan jalan napas.
1.      Difteria faring dan tonsil
Difteria ini paling sering dijumpai ialah sekitar 75%. Dalam keadaan ringan tidak terbentuk pseudomembran, sanggup memebentuk kekabalan.
Bila berat akan timbul tanda-tanda demam tetapi tidak tinggi, nyeri telan, terdapat pseudomembran yang mula-mula hanya ada bercak-becak putih keabu-abuan dan cepat meluas kedaerah faring dan laring.
2.      Difteria laring dan trakea
Difteria ini merupakan yang terbanyak dan umumnya sebagai penjalaran dari difteria faring dan tonsil. Gejala sama dengan difteria faring hanya lebih berat.

Prognosis
Prognosis penyakit ini bergantung kepada :
1.      Umur pasien. Makin muda usianya makin buruk prognosisnya
2.      Perjalanan penyakit ; makin terlambat ditemukan makin buruk keadaannya
3.      Letak lesi difteria. Bila dihidung tergolong ringan
4.      Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk
5.      Terdapatnya kompikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis
6.      Pengobatan ; terlambat sumbangan ADS, prognosis makin buruk

Komplikasi
1.      Pada kanal pernapasan : terjadi obstruksi jalan napas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia, atelektasis
2.      kardiovaskular ; miokarditis, yang sanggup terjadi akhir toksin yang dibuat kuman difteria
3.      Kelainan pada ginjal : nefritis
4.      Kelainan saraf : kira-kira 10% pasien difteria mengalami komplikasi yang mengenai susunan saraf terutama sistem motorik, sanggup berupa :
a.       Paralisis/parelisis palatum mole sehingga terjadi rinolalia (suara sengau), tersedak/sukar menelan. Dapat terjadi pada ahad I-II
b.      Paralisis/paresis otot-otot mata : sanggup menimbulkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada ahad III.
c.       Paralisis umum yang sanggup terjadi sehabis ahad ke-IV. Kelainan sanggup mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernapasan.

Pencegahan
1.      Imunisasi
2.      Isolasi ; pasien difteria harus dirawat dengan isolasi dan gres sanggup pulang sehabis investigasi sediaan pribadi tidak ditemukan corynebacterium diphteriae 2 kali berturut-turut.
3.      Pencarian seorang karier difteria dengan dilakukan Uji Shick. Bila diambil hapusan tenggorok dan ditemukan C. diphteriae pasien diobati ; bila perlu dilakukan tonsilektomi (ini ideal kini belum sanggup dilaksanakan).

Gambaran Klinik
Masa tunas : 2-7 hari. Gejala umum : terdapat demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien tampak sangat lemah.
Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien diferia) tanda-tanda yang timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam hidung.

Pemeriksaan diagnositik
Laboratorium. Pada investigasi darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukosit polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan.

Penatalaksanaan
Medik
1.      Pengobatan umum
2.      Pengobatan spesifik
a.       Antidiphtheria serum
b.      Antibiotik
c.       Kortikosteroid
Keperawatan
Pasien diffteria harus dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus menggunakan gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap penggantian kiprah atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi hingga malam). Sebaiknya penunggu pasien juga harus menggunakan gaun tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan basuh tangan : desinfektan.
Masalah yang perlu diperhatikan yakni resiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat, gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa kondusif dan nyaman, resiko terjadi imbas samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang bau tanah mengenai penyakit, dan kalau pasien perlu dilakukan trakeostomi/perawatan trakeostomi.

Patogenesis
Basil hidup dan berkembang biak pada kanal napas atas, terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dll. Basil sanggup pula hidup pada vulva, indera pendengaran dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.

Klasifikasi
1.      Infeksi ringan : pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial dengan tanda-tanda hanya nyeri menelan.
2.      Infeksi sedang : pseudomembran menyebar lebih luas hingga ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang sanggup diatasi dengan pengobatan konservatif.
3.      Infeksi berat : disertai tanda-tanda sumbatan jalan napas yang berat, yang hanya sanggup diatasi dengan trakeostomi. Juga tanda-tanda komplikasi miokarditis, paralisis tataupun nefritis sanggup menyertainya.

Manifastasi Klinis
·         Difteri hidung : pilek dengan sekret bercampur darah. Gejala konstitusi ringan.
·         Difteri faring dan tonsil (fausial) : terdapat radang akut tenggorok, demam hingga 38,5 OC, trakikardi, tampak lemah, napas berbau, timbul pembengkakan kelenjar regional (bull neck). Membran sanggup berwarna putih, abu-abu kotor atau bubuk kehijauan dengan tepi yang sedikit terangkat. Bila membran diangkat akan timbul pendarahan. Tetapi, mekanisme ini dikontraindikasikan lantaran mempercepat peresapan toksin.
·         Difteri laring : jenis yang terberat, terdapat afonia, sesak, stridor inspirasi, demam hingga 40 OC, sangat lemah, sianosis, bull neck.
·         Difteri kutaneus dan v@gin@l : lesi ulseratif dengan pembentukan membran. Lasi peresisten dan sering terdapat anestesi.

Pemeriksaan Penunjang
Dapat terjadi leukositosis ringan.

Diagnosis
Ditegakan dengan ditemukannya corynebacterium diphtheriae pada preparat pribadi dengan pewarnaan biru metilen atau biru toluidin tau biakan dengan media loeffler.

Diagnosis Banding
Difteria nasal : perdarahan akhir luka dalam hidung, korpus alineum atau sifilis kongenital.
Difteria faring dan tonsil (fausial) : tonsilitis folikularis atau lakunaris, angina Plaut Vincent, infeksi mononukleosis infeksiosa, blood dyscrasia.
Difteria laring : laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa, benda aneh pada laring.
Penatalaksanaan
Dilakukan bila klinis menyokong ke arah difteria tanpa menunggu hasil investigasi penunjang. Tata laksana umum dengan tirah baring, isolasi pasien, pengawasan ketat atas kemungkinan komplikasi, antara lain investigasi EKG setiap minggu. Pasien dirawat selama3-4 minggu. Sedangkan secara khusus.
·         Anti-Diptheria Serum (ADS) diberikan dengan takaran 20.000-100.000 U bergantung pada lokasi, adanya komplikasi dan durasi penyakit. Sebelumnya lakukan uji kulit (pengenceran 1:100) atau mata (pengenceran (1:10). Bila pasien sensitif, lakukan desensitisasi cara besredka.
·         Antibiotik. p3nsilin prokain 50.000 U/kgBB/hari hingga 10 hari. Bila alergi, berikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari. Bila dilakukan trakeostomi, tambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam dosis.
·         Kortikosteroid. Digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah komplikasi miokarditis. Diberikan prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 ahad yang dilarang secara bertahap.
·         Bila ada paresis otot sanggup diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari, 10 hari berturut-turut.

Komplikasi
1.      Saluran napas : obstruksi jalan napas, bronkopneumonia, atelektasis paru.
2.      Kardiovaskular : miokarditis akhir toksin kuman.
3.      Urogenital : nefritis.
4.      Susunan syaraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), otot mata (minggu III) dan umum (setelah ahad IV).

Pencegahan
1.      Isolasi pasien. Isolasi dilarang bila hasil investigasi sediaan pribadi C. diphtheriae 2 hari berturut-turut negatif.
2.      Imunisasi.
3.      Pencarian dan pengobatan karier. Dilakukan dengan uji Schick. Bila hasil negatif, dilakukan apusan tenggorok. Jika ditemukan C. diphtheriae, harus diobati.
Prognosis
Prognosis lebih buruk lagi pada pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, letak lesi yang dalam, gizi kurang dan sumbangan antitoksin yang terlambat.


BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT, klik: 
aciknadzirah.blogspot.com/search?q=tahukah-anda-tentang-penyakit-difteri 

INFORMASI TERKAIT: 1. Materi Laporan pendahuluan DIFTERI, Klik: http://macrofag.blogspot.co.id/2017/1... 2. Materi DIFTERI DAN PENANGANANNYA, Klik: http://macrofag.blogspot.co.id/2017/1... 3. Makalah Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit, Klik: http://macrofag.blogspot.co.id/2013/0... 4. SAP Alat Pelindung Diri, Klik: http://macrofag.blogspot.co.id/2017/1... 5. Mengenal FLU BURUNG, Klik: http://macrofag.blogspot.co.id/2013/0... Jangan lupa LIKE & SUBSCRIBE Chanel You Tube : VIDIO BERITA PENYAKIT DIFTERI: https://youtu.be/2VZ15E1sCDM VIDIO CARA MEMASANG INFUS: https://youtu.be/5ph17Qv3J9M VIDIO CARA MEMBUAT BOTOL WSD versi plabot: https://youtu.be/U8aTWS7xivM VIDIO HAND HYGINE DANCE: https://youtu.be/Jz9GmwUQHN8 VIDIO PENDIDIKAN KESEHATAN HAND HYGINE: https://youtu.be/c118TT8oxsA VIDIO MENGETAHUI BAGIAN INFUS & TRANFUSI SET: https://youtu.be/gAiBL0Eyhjg VIDIO CARA PEMERIKSAAN TEKANAN DARAH: https://youtu.be/KFueosbrwaA VIDIO HAND HYGINE VERSI HANDRUB & AIR MENGALIR: https://youtu.be/cS999xl30tE VIDIO CARA MEMASANG ALAT PELINDUNG DIRI UNTUK PASIEN ISOLASI DIFTERI, MDR, FLU BURUNG dll, Klik: https://youtu.be/6MOj9i-UITQ



DAFTAR PUSTAKA
Nelson dkk. 2001. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15. EGC : Jakarta.
Setiawan, SKp. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
Suriadi, SKp, Rita Yuliani, SKp. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. EGC : Jakarta. CV Agung Seto.
Arif, Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. 2000 jilid 2 edisi ke-3.

Sumber http://macrofag.blogspot.com