Showing posts with label Laporan Pendahuluan. Show all posts
Showing posts with label Laporan Pendahuluan. Show all posts

Sunday, September 24, 2017

√ Laporan Pendahuluan Acut Limphosityc Leucemia

Salam teman sejawat sekalian. bagi seorang perawat pastinya tidak asing lagi dengan yang nama nya laporan pendahuluan, lantaran sebagai seorang perawat khususnya yang sedang mengenyam pendidikan di akademik pastilah sering bergelut dengan yang namanya laporan pendahuluan, terutama pada dikala mulai praktikum dirumah sakit dan juga bagi yang sedang menjalani jadwal profesi ners.

bermaksud membantu teman sejawat yang sedang membutuhkan laporan pendahuluan sebagai kiprah pada dikala praktik di rumah sakit. kali ini admin coba membagikan laporan pendahuluan acut limphosityc leucemia. 

Leucemia : gambar diambil dari pixabay.com


untuk mend0wnl0ad laporan pendahuluan acut limphosityc leukimia dalam bentuk Ms. Word silahkan klik disini




PENGERTIAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA 

Acut limphosityc leukemia yakni proliferasi maligna / ganas limphoblast dalam sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang sanggup bersifat sistemik. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Tucker, 1997; Reeves & Lockart, 2002).


PENYEBAB ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Penyebab acut limphosityc leukemia hingga dikala ini belum jelas, diduga kemungkinan lantaran virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:
  • Faktor eksogen 
  1. Sinar x, sinar radioaktif. 
  2. Hormon. 
  3. Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).
  • Faktor endogen 
  1. Ras (orang Yahudi lebih gampang terkena dibanding orang kulit hitam) 
  2. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down). 
  3. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur). (Ngastiyah, 1997)

PATOFISIOLOGI ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke banyak sekali organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menimbulkan haemopoesis normal terhambat, hasilnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke banyak sekali organ menimbulkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menjadikan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang sanggup menimbulkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga gampang mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).


TANDA DAN GEJALA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA 

Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:
  1. Pilek tak sembuh-sembuh 
  2. Pucat, lesu, gampang terstimulasi 
  3. Demam, anoreksia, mual, muntah 
  4. Berat tubuh menurun 
  5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab 
  6. Nyeri tulang dan persendian 
  7. Nyeri abdomen 
  8. Hepatosplenomegali, limfadenopati 
  9. Abnormalitas WBC 
  10. Nyeri kepala

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:
  • Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction): 
  1. Ditemukan sel blast yang berlebihan 
  2. Peningkatan protein 
  • Pemeriksaan darah tepi 
  1. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia) 
  2. Peningkatan asam urat serum 
  3. Peningkatan tembaga (Cu) serum 
  4. Penurunan kadar Zink (Zn) 
  5. Peningkatan leukosit sanggup terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif 
  • Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut 
  • Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum 
  • Sitogenik: 50-60% dari pasien ALL dan AML memiliki kelainan berupa: 
  1. Kelainan jumlah kromosom, ibarat diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a) 
  2. Bertambah atau hilangnya pecahan kromosom (partial delection) 
  3. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar hingga yang sangat kecil

PENGOBATAN PADA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
  1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, sanggup diberi¬kan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda tanda DIC sanggup dibe¬rikan heparin. 
  2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi takaran dikurangi bertahap dan akhir¬nya dihentikan. 
  3. Sitostatika. Selain sitostatika yang usang (6 merkaptopurin atau 6 mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini digunakan pula yang gres dan lebih poten ibarat vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami¬sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama sama dengan prednison. Pada pemberian obat obatan ini sering terdapat akhir samping beru¬pa alopesia, stomatitis, leukopenia, jerawat sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3. 
  4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
  5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter¬capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan biar terbentuk antibodi yang sanggup memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti¬kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini dibutuhkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga dibutuhkan penderita leukemia sanggup sembuh sempurna. 
  6. Cara pengobatan. Setiap klinik memiliki cara tersendiri bergantung pada pengalaman¬nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapat masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya digunakan contoh dasar pengobatan sebagai berikut:
  • Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba¬gai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam¬pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%. 
  • Konsolidasi 
Yaitu biar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi. 
  • Rumat (maintenance) 
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh takaran biasa. 
  • Reinduksi 
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3 6 bulan dengan pemberian obat obat ibarat pada induksi se-lama 10 14 hari. 
  • Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat. 
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400¬2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb¬ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
  • Pengobatan imunologik 
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian dibutuhkan penderita sanggup sembuh sempurna. (FKUI, 1985)


PATHWAYS


Fathway Acut Limphosityc Leucemia

MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA 

Adanya keganasan menjadikan duduk kasus keperawatan, antara lain:
  1. Intoleransi aktivitas 
  2. Resiko tinggi infeksi 
  3. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuahn 
  4. Resiko cedera (perdarahan) 
  5. Resiko kerusakan integritas kulit 
  6. Nyeri 
  7. Resiko kekurangan volume cairan 
  8. Berduka 
  9. Kurang pengetahuan 
  10. Perubahan proses keluarga 
  11. Gangguan gambaran diri / gambaran diri

PERAWATAN PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
  • Mengatasi keletihan / intoleransi aktivitas: 
  1. Kaji adanya tanda-tanda anemia: pucat, peka rangsang, cepat lelah, kadar Hb rendah. 
  2. Pantau hitung darah lengkap dan hitung jenis 
  3. Berikan cukup istirahat dan tidur tanpa gangguan 
  4. Minimalkan kegelisahan dan anjurkan bermain yang tenang 
  5. Bantu pasien dalam kegiatan sehari-hari 
  6. Pantau frekuensi nadi, prnafasan, sebelum dan selama aktivitas 
  7. Ketika kondisi membaik, dorong kegiatan sesuai toleransi 
  8. Jika diprogramkan, berikan packed RBC 
  • Mencegah terjadinya infeksi 
  1. Observasi adanya tanda-tanda infeksi, pantau suhu tubuh laporkan jikalau suhu > 38oC yang berlangsung > 24 jam, menggigil dan nadi > 100 x / menit. 
  2. Sadari bahwa ketika hitung neutrofil menurun (neutropenia), resiko jerawat meningkat, maka: Tempatkan pasien dalam ruangan khusus , Sebelum merawat pasien: basuh tangan dan menggunakan pakaian pelindung, masker dan sarung tangan, Cegah komtak dengan individu yang terinfeksi .
  3. Jaga lingkungan tetap bersih, batasi tindakan invasif 
  4. Bantu ambulasi jikalau mungkin (membalik, batuk, nafas dalam) 
  5. Lakukan higiene oral dan perawatan perineal secara sering. 
  6. Pantau masukan dan haluaran serta pertahankan hidarasi yang adekuat dengan minum 3 liter / hari 
  7. Berikan terapi antibiotik dan tranfusi granulosit jikalau diprogramkan 
  8. Yakinkan pemberian kuliner yang bergizi. 
  • Mencegah cidera (perdarahan) 
  1. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan dengan inspeksi kulit, mulut, hidung, urine, feses, muntahan, dan lokasi infus. 
  2. Pantau tanda vital dan nilai trombosit 
  3. Hindari injesi intravena dan intramuskuler seminimal mungkin dan tekan 5-10 menit setiap kali menyuntik 
  4. Gunakan sikat gigi yang lebut dan lunak 
  5. Hindari pengambilan temperatur rektal, pengobatan rekatl dan enema 
  6. Hindari kegiatan yang sanggup menimbulkan cidera fisik atau mainan yang sanggup melukai kulit.
  • Memberikan nutrisi yang adekuat 
  1. Kaji jumlah kuliner dan cairan yang ditoleransi pasien 
  2. Berikan kebersihan oral sebelum dan setelah makan 
  3. Hindari bau, parfum, tindakan yang tidak menyenangkan, gangguan pandangan dan bunyi 
  4. Ubah contoh makan, berikan kudapan dan sering, libatkan pasien dalam menentukan kuliner yang bergizi tinggi, timbang BB tiap hari 
  5. Sajikan kuliner dalam suhu masbodoh / hangat 
  6. Pantau masukan makanan, bila jumlah kurang berikan ciran parenteral dan NPT yang diprogramkan. 
  • Mencegah kekurangan cairan 
  1. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
  2. Berikan antiemetik awal sebelum pemberian kemoterapi
  3. Hindari pemberian kuliner dan minuman yang baunya merangngsang mual / muntah
  4. Anjurkan minum dalam porsi kecil dan sering 
  5. Kolaborasi pemberian cairan parenteral untuk mempertahankan hidrasi sesuai indikasi 
  • Antisipasi berduka 
  1. Kaji tahapan berduka oada anak dan keluarga 
  2. Berikan pertolongan pada respon adaptif dan rubah respon maladaptif 
  3. Luangkan waktu bersama anak untuk memberi kesempatan express feeling 
  4. Fasilitasi express feeling melalui permainan 
  • Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang: 
  1. Proses penyakit leukemia: gejala, pentingnya pengobatan / perawatan. 
  2. Komplikasi penyakit leukemia: perdarahan, jerawat dll. 
  3. Aktivitas dan latihan sesuai toleransi 
  4. Mengatasi kecemasan 
  5. Pemberian nutrisi 
  6. Pengobatan dan imbas samping pengobatan 
  • Meningkatkan kiprah keluarga 
  1. Jelaskan alasan dilakukannya setiap mekanisme pengobatan / dianostik 
  2. Jadwalkan waktu bagi keluarga bersama anak tanpa diganggu oleh staf SR 
  3. Dorong keluarga untuk express feelings 
  4. Libatkan keluarga dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan si anak
  • Mencegah gangguan gambaran diri / gambaran diri 
  1. Dorong pasien untuk express feelings ihwal dirinya 
  2. Berikan gosip yang mendukung pasien ( misal; rambut akan tumbuh kembali, berat tubuh akan kembali naik jikalau terapi selesai dll.) 
  3. Dukung interaksi sosial / peer group d. Sarankan pemakaian wig, topi / epilog kepala.

DAFTAR PUSTAKA 
  1. Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 
  2. Jakarta, EGC. 2. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto. 
  3. Reeeves, Lockart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan I. Jakarta, Salemba Raya. 
  4. FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI. 
  5. Sacharin Rosa M. (1993). Prinsip Perawatan Pediatri. Edisi 2. Jakarta : EGC.
  6. Gale Danielle, Charette Jane. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta : EGC. 
  7. Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart .(1995). Patofisiologi. Jakarta : EGC 
  8. Sutarni Nani.(2003). Prosedur Dan Cara Pemberian Obat Kemoterapi. Disampaikan Pada Pelatihan Kemoterapi Di RS Kariadi Semarang, Tanggal 13-15 November 2003.

Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com

Saturday, September 23, 2017

√ Laporan Pendahuluan Acute Nonlymphoid (Myelogenous) Leukimia (Anll Atau Aml)

Salam teman sejawat sekalian. bagi seorang perawat pastinya tidak abnormal lagi dengan yang nama nya laporan pendahuluan, sebab sebagai seorang perawat khususnya yang sedang mengenyam pendidikan di akademik pastilah sering bergelut dengan yang namanya laporan pendahuluan, terutama pada ketika mulai praktikum dirumah sakit dan juga bagi yang sedang menjalani agenda profesi ners. 

bermaksud membantu teman sejawat yang sedang membutuhkan laporan pendahuluan sebagai kiprah pada ketika praktik di rumah sakit. kali ini admin coba membagikan laporan pendahuluan Acute Nonlymphoid (Myelogenous) Leukimia (ANLL atau AML).

Untuk mend0wnl0ad laporan pendahuluan Acute Nonlymphoid (Myelogenous) Leukimia (ANLL atau AML) dalam bentuk Ms.Word silahkan Klik disini



Definisi

Acute Nonlymphoid (myelogenous) Leukemia (ANLL atau AML) adalah salah satu jenis leukemia; dimana terjadi proliferasi neoplastik dari sel mieloid (ditemukannnya sel mieloid : granulosit, monosit imatur yang berlebihan). AML mencakup leukemia mieloblastik akut, leukemia monoblastik akut, leukemia mielositik akut, leukemia monomieloblastik, dan leukemia granulositik akut


Penyebab

Seperti halnya leukemia jenis ALL (Acute Lymphoid Leukemia), etiologi AML hingga ketika ini masih belum diketahui secara pasti, diduga sebab virus (virus onkogenik). Faktor lain yang turut berperan yakni :

  • Faktor endogen 
Faktor konstitusi menyerupai kelainan kromosom (resiko terkena AML meningkat pada anak yang terkena Down Sindrom), herediter (kadang-kadang dijumpai perkara leukemia pada abang beradik atau kembar satu telur).


  • Faktor eksogen 
Seperti sinar X, sinar radioaktif, hormon, materi kimia (Benzol, Arsen, preparat Sulfat), abses (virus, bakteri).


Tanda dan Gejala
  • Hipertrofi ginggiva 
  • Kloroma spinal (lesi massa) 
  • Lesi nekrotik atau ulserosa perirekal 
  • Hepatomegali dan splenomegali (pada kurang lebih 50% anak) 
  • Manifestasi klinik menyerupai ALL , yaitu 
  1. Bukti anemia, perdarahan, dan abses : demam, letih, pucat, anoreksia, petekia dan perdarahan, nyeri sendi dan tulang, nyeri abdomen yang tidak jelas, berat tubuh menurun, pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem retikuloendotelial (hati , limpa, dan limfonodus) 
  2. Peningkatan tekanan intrakranial sebab infiltrasi meninges : nyeri dan kaku kuduk, sakit kepala, iritabilitas, letargi, muntah, edema papil, koma. 
  3. Gejala-gejala sistem saraf sentra yang berafiliasi dengan cuilan sistem yang terkena; kelemahan ekstremitas bawah, kesulitan berkemih, kesulitan belajar, khususnya matematika dan hafalan (efek samping lanjut dari terapi).

Patofisiologi dan Pathways

Pathway ANLL


Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai kebutuhan tubuh. Apabila prosedur yang mengatur produksi sel tersebut terganggu, sel akan membelah diri hingga ke tingkat sel yang membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik sanggup terjadi sebab kerusakan sumsum tulang tanggapan radiasi, virus onkogenik, maupun herediter.


Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibuat hanya dalam sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam banyak sekali organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih yang dibuat dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam sumsum tulang hingga mereka diperlukan dalam sirkulasi. Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, contohnya tanggapan radiasi atau materi kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada perkara AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan lalu menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibuat pada banyak organ ekstra medula.

Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia sanggup diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan gampang akan masuk ke dalam tubuh insan dan merusak prosedur proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen insan tersebut, maka virus gampang masuk. Bila struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari banyak sekali alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan berdasarkan aturan genetik, sehingga etiologi leukemia sangat bersahabat kaitannya dengan faktor herediter.

Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang lain tertekan sebab terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme (terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi tulang di sekelilingnya yang mengakibatkan nyeri tulang dan cenderung gampang patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ menimbulkan tanda-tanda pelengkap : nyeri tanggapan pembesaran limpa atau hati, dilema kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah tanggapan leukemia meningeal


Komplikasi
  1. Gagal sumsum tulang 
  2. Infeksi 
  3. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID/DIC) 
  4. Splenomegali 
  5. Hepatomegali

Pemeriksaan Diagnostik
  1. Hitung darah lengkap (CBC). Anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 ketika didiagnosis, mempunyai prognosis paling baik. Jumlah leukosit lebih dari 50.000/mm3 yakni tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur. 
  2. Pungsi lumbal, untuk mengkaji keterlibatan SSP. 
  3. Foto thoraks, untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum 
  4. Aspirasi sumsum tulang, ditemuakannya 25% sel blast memperkuat diagnosis. 
  5. Pemindaian tulang atau survei kerangka, mengkaji keterlibatan tulang. 
  6. Pemindaian ginjal, hati, dan limpa, mengkaji infiltrat leukemik 
  7. Jumlah trombosit, mengatakan kapasitas pembekuan

Penatalaksanaan

Protokol pengobatan bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang diberikan pada anak. Proses remisi induksi pada anak terdiri dari tiga fase : induksi, konsolidasi, dan rumatan. Selama fase induksi (kira-kira 3 hingga 6 minggu) anak mendapatkan banyak sekali agens kemoterapi untuk menimbulkan remisi. Periode intensif diperpanjang 2-3 ahad selama fase konsolidasi untuk memberantas keterlibatan sistem syaraf sentra dan oragan vital lain. Terapi rumatan diberikan selama beberapa tahun sesudah diagnosis untuk memperpanjang remisi. Beberapa obat yang digunakan untuk leukemia bawah umur yakni prednison, vinkristin, asparaginase, metrotreksat, merkaptopurin, sitarabin, alopurinol, siklofosfamid, dan daunorubisin.


Pengkajian Keperawatan

  1. Kaji adanya manifestasi klinik AML (kelelahan, nyeri, pucat, anoreksi, perdarahan, penurunan berat badan, letargi, hipertropi ginggiva, ulserosa perirektal, dll) 
  2. Kaji reaksi anak terhadap kemoterapi : diare, anoreksia, mual, muntah, retensi cairan, hiperuremia, demam, stomatitis, ulkus mulut, alopesia, nyeri, dll
  3. Kaji adanya tanda dan tanda-tanda abses : peningkatan leukosit, demam, peningkatan LED 
  4. Kaji adanya tanda dan tanda-tanda hemoragi 
  5. Kaji adanya tanda dan tanda-tanda komplikasi : somnolens radiasi, tanda-tanda SSP, lisis sel. 
  6. Kaji koping anak dan keluarga.

Diagnosa Keperawatan

  1. Intoleransi aktivitas 
  2. Resiko tinggi infeksi 
  3. Kelebihan volume cairan 
  4. Kerusakan integritas jaringan 
  5. Resiko tinggi perubahan nutrisi 
  6. Resiko tinggi cedera 
  7. Gangguan gambaran diri 
  8. Ansietas 
  9. Resiko tinggi penurunan curah jantung 
  10. Resiko tinggi keletihan 
  11. Resiko tinggi perubahan pertumbuhan dan perkembangan 
  12. Resiko tinggi perubahan proses keluarga 
  13. Resiko tinggi penatalaksanaan aturan pengobatan yang tidak efektif

Intervensi Keperawatan
  • Pantau anak untuk mengetahui reaksi terhadap pengobatan 
  • Pantau adanya tanda dan tanda-tanda abses : 
  1. Waspadai bahwa demam yakni tanda yang terpenting dari infeksi 
  2. Obati semua anak seolah-olah mereka semua menderita neutropeni hingga diperoleh hasil test. Isolasi mereka dari pasien klinik lainnya, terutama bawah umur dengan penyakit infeksi, khususnya varisela. 
  3. Minta anak tersebut menggunakan masker bila bersama dengan orang lain dan bila menderita neutropeni berat ( leukosit kurang dari 1000/mm3). 
  4. Waspadai bahwa jikalau seorang anak menderita neutropeni, ia dihentikan menjalani kemoterapi. Anak tsb sanggup mendapatkan antibiotik Ivjika demam juga terjadi (lebih banyak pasien yang meninggal sebab abses daripada sebab penyakitnya). 
  • Pantau adanya tanda dan tanda-tanda hemoragi 
  1. Periksa adanya memar dan petekia pada kulit 
  2. Periksa danya mimisan dan gusi berdarah 
  3. Jika diberi suntikan, tekan bekas bacokan lebih usang dari biasanya (kira-kira 3-5 menit) untuk memastikan perdarahan telah berhenti. Perikas lagi untuk memastikan bahwa tidak ada perdarahan lagi. 
  • Pantau adanya tanda tanda-tanda komplikasi 
  1. Somnolens radiasi : dimulai 6 ahad sesudah mendapatkan radiasi kraniospinal, anak mengatakan keletihan berat dan anoreksia selama kira-kira 1-3 minggu. Orang bau tanah sering kali mersa khawatir perihal terjadinya kambuhan pada ketika ini dan perlu untuk diyakinkan. 
  2. Gejala SSP : sakit kepala, penglihatan kabur atau ganda, muntah. Gejala-gejala tersebut sanggup mengindikasikan keterlibatan SSP. 
  3. Gejala pernafasan : batuk, kongesti paru, dispnea. Gejala-gejala tersebut mengindikasikan adanya pneumositis atau abses pernafasan lainnya. 
  4. Lisis sel : lisis sel yang cepat sesudah kemoterapi sanggup mempengaruhi kimia darah, menimbulkan peningkatan Kalsium dan Kalium. 
  • pantau adanya kekhawatiran dan ansietas perihal diagnosis kanker dan hubungannya dengan pengobatan; pantau respon emosional menyerupai marah, menyangkal, kesedihan 
  • Pantau adanya gangguan dalam fungsi keluarga 
  1. Dasar semua intervensi pada latar belakang budaya, agama pendidikan, dan sosial ekonomi keluarga 
  2. Libatkan saudara kandung sebanyak mungkin dalam perawatan sebab mereka sangat prihatin terhadap perubahan yang terjadi pada anak yang sakit dan fungsi keluarga 
  3. Pertimbangkan kemungkinan bahwa saudara kandung merasa bersalah dan disalahkan
  4. Tingkatkan keutuhan keluarga dengan memberi kebebasan jam kunjung selama 24 jam bagi semua anggota keluarga.

Hasil yang Diharapkan
  1. Anak mencapai remisi 
  2. Anak bebas dari komplikasi penyakit 
  3. Anak dan keluarga mempelajari perihal koping yang efektif untuk menghadapi hidup dan penatalaksanaan penyakit tersebut.

DAFTAR PUSTAKA 

  1. Whaley’s and Wong. Essential of Pediatric Nursing. Sixth Edition. USA : Mosby. 2000. 
  2. Betz, CL & Sowden, LA. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi. Jakarta : EGC. 2002. 
  3. Whaley’s and Wong. Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA : Mosby. 2001. 
  4. Joyce Engel. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC. 1999 
  5. Brunner& Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC. 2002. 
  6. Guyton. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC. 1995


Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com

√ Laporan Pendahuluan Kegawatan Pernafasan (Respiratory Distress Syndrome)

Salam teman sejawat sekalian. bagi seorang perawat pastinya tidak abnormal lagi dengan yang nama nya laporan pendahuluan, lantaran sebagai seorang perawat khususnya yang sedang mengenyam pendidikan di akademik pastilah sering bergelut dengan yang namanya laporan pendahuluan, terutama pada ketika mulai praktikum dirumah sakit dan juga bagi yang sedang menjalani agenda profesi ners.

bermaksud membantu teman sejawat yang sedang membutuhkan laporan pendahuluan sebagai kiprah pada ketika praktik di rumah sakit. kali ini admin coba membagikan laporan pendahuluan Kegawatan pernafasan (Respiratory Distress syndrome)

Untuk mend0wnl0ad Laporan pendahuluan Kegawatan pernafasan (Respiratory Distress syndrome) dalam bentuk Ms.Word Klik disini


Kegawatan pernafasan ( Respiratory Distress syndrome ) pada anak merupakan penyebab utama maut pada bayi gres lahir, diperkirakan 30% dari semua maut neonatus disebabkan oleh penyakit ini atau komplikasinya. Penyakit ini terjadi pada bayi prematur, insidennya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat badannya. 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu, sekitar 3% pada bayi yang lebih dari 37 minggu. Tingginya angka bencana tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi para tenaga kesehatan, mahasiswa S1 keperawatan yang merupakan calon tenaga kesehatan profesional, yang nantinya akan selalu bekerjasama dengan penderita atau anak dengan resiko menderita RDS, harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mencegah dan membantu mengatasi tersebut dan sanggup dipertanggungjawabkan pada pasien dan tim kesehatan lain.


PENGERTIAN

Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) yaitu perkembangan yang immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membran disease ( HMD ). (Suriadi, 2001).


ETIOLOGI

Dihubungkan dengan usia kehamilan, semakin muda seorang bayi, semakin tinggi Resiko RDS sehingga menjadikan perkembangan yang immatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS terdapat dua kali lebih banyak pada pria daripada perempuan, insidens meningkat pada bayi dengan faktor –faktor tertentu, misalnya: ibu diabetes yang melahirkan bayi kurang dari 38 minggu, hipoksia perinatal, lahir melalui secio sesaria


PATHOFISIOLOGI

Pathway kegawatan pernafasan
Untuk Mend0wnl0ad Pathway Kegawatan pernafasan doc DISINI

Pada bayi dengan RDS, dimana tidak adanya kemampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur mengakibatkan gagal pernafasan lantaran immaturnya dinding dada, parenchim paru, dan immaturnya endotellium kapiler yang mengakibatkan kolaps paru pada simpulan ekspirasi.

Pada kasus yang terjadi akhir tidak adanya atau kurangnya, atau berubahnya komponen surfaktan pulmoner. Surfaktan suatu kompleks lipoprotein, yaitu penggalan dari permukaan seakan-akan film yang ada di alveoli, untuk mencegahnya kolapsnya alveolus tersebut. surfaktan dihasilkan oleh sel-sel pernafasan tipe II di alveoli. Bila surfakatan tersebut tidak adekuat, akan terjadi kolaps alveolus dan menjadikan hipoksia dan retensi CO2 menjadikan asidosis Kemudian terjadi konstriksi vaskuler pulmoner dan penurunan perfusi pilmoner, yang berakhir sebagai gagal nafas progresif, terjadi hipoksemia progresif yang sanggup mengakibatkan kematian. ( Nelson,2000).


MANIFESTASI KLINIK
  1. Takipneu 
  2. Retraksi interkostal dan sternal 
  3. Pernafasan cuping hidung 
  4. Sianosis sejalan dengan hipoksemia 
  5. Menurunya daya compliance paru (nafas ungkang- ungkit paradoksal ) 
  6. Hipotensi sistemik (pucat perifer, edema, pengisian kapiler tertunda lebih dari 3 hingga 4 detik)
  7. Penurunan keluaran urine 8. Penurunan bunyi nafas dengan ronkhi 
  8. Takhikardi pada ketika terjadinya asidosis dan hipoksemia.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
  • Foto thoraks 
  1. Pola retikulogranular difus bersama bronkhogram udara yang saling tumpah tindih. 
  2. Tanda paru sentral batas jantung sukar dilihat, inflasi paru buruk. 
  3. Kemungkinan terdapat kardiomegali bila sistem lain juga terkena (bayi dari ibu diabetes, hipoksia, gagal jantung kongestif ) 
  4. Bayangan timus yang besar. 
  5. Bergranul merata pada bronkhogram udara, yang mengambarkan penyakit berat kalau terdapat pada beberapa jam pertama. 
  • Gas Darah Arteri menunjukan asidosis respiratory dan metabolik yaitu adanya penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan paCO2, penurunan HCO3.
  1. Hitung darah lengkap, 
  2. Perubahan Elektrolit, cenderung terjadi penurunan kadar: kalsium, natrium, kalium dan glukosa serum

KOMPLIKASI

  1. Pneumothorak 
  2. Pneumomediastinum 
  3. Hipotensi 
  4. Menurunya pengeluaran urine 
  5. Asidosis 
  6. Hiponatremi 
  7. Hipernatremi 
  8. Hipokalemi 
  9. Disseminated intravaskuler coagulation ( DIC ) 
  10. Kejang 
  11. Intraventricular hemorhagi 
  12. Infeksi sekunder. 
  13. murmur

ASIDOSIS

merupakan suatu kondisi terjadinya pelepasan ion Hidrogen ( H+ ) yang berlebihan dalam darah sehingga terjadi penurunan pH darah dalam tubuh. pH darah dalam tubuh memiliki nilai normal : 7,38-7,42 dengan investigasi AGD ( analisa gas darah ). bila kurang dari nilai normal disebut dinamakan asidosis, sedangkan bila lebih dari normal disebut alkalosis. Berat ringannya tergantung tinggi rendahnya rentang perubahanya. Kolaps paru pada kasus RDS sanggup mengakibatkan asidosis lantaran terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia dan Retensi CO2. oksigenasi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme anaerobik yang menimbulkan asam laktat dan asam organik lain yang mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik.


PENATALAKSANAAN
  1. Memberikan lingkungan yang optimal.Suhu tubuh harus selalu diusahakan biar tetap dalam batas normal ( 36,50-370C ) dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembapan ruangan juga harus adekuat ( 70-80%) 
  2. Pemberian oksigen . Pemberian oksigen harus hati-hati lantaran besar lengan berkuasa kompleks terhadap bayi prematur. Untuk mencegah timbulnya komplikasi tersebut derma O2 sebaiknya diikuti dengan investigasi analisa gas darah. Rumatan PaO2 antara 50-80mmHg dan PaCO2 antara 40 dan 50 mmHg, dengan rumatan O2 2L. 
  3. Pemberian cairan dan elektrolit. Pada permulaan diberikan glukose 5-10% 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis yang selalu dijumpai Harus segera dikoreksi dengan NaHCO3 secara intravena, dengan rumus derma : NaHCO3( mEq ) =Defisit basa X 0.3 X BB bayi. 
  4. Pemberian antibiotik, untuk mnecegah bisul sekunder. Dapat diberikan p3enissilin dengan takaran 50000-100000 U/kgBB/hari dengan atau tanpa gentamicin3-5/kgBB/hari. 
  5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH yaitu derma surfaktan eksogen melalui endotrakheal tube. Obat ini sangat efektif.

DAFTAR PUSTAKA 

  1. Cecily. L Betz. 2002. Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta. EGC 
  2. Nelson. E Waldo. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jilid I.Jakarta. EGC 
  3. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta. EGC 
  4. Suriadi. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I.Jakarta. CV Agung Seto.

Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com

Friday, September 22, 2017

√ Laporan Pendahuluan Allergi

Salam teman sejawat sekalian. bagi seorang perawat pastinya tidak ajaib lagi dengan yang nama nya laporan pendahuluan, lantaran sebagai seorang perawat khususnya yang sedang mengenyam pendidikan di akademik pastilah sering bergelut dengan yang namanya laporan pendahuluan, terutama pada ketika mulai praktikum dirumah sakit dan juga bagi yang sedang menjalani jadwal profesi ners.

bermaksud membantu teman sejawat yang sedang membutuhkan laporan pendahuluan sebagai kiprah pada ketika praktik di rumah sakit. kali ini admin coba membagikan laporan pendahuluan Allergi

untuk mend0wnl0ad laporan pendahuluan Allergi dalam bentuk Ms.Word silahkan klik disini

Reaksi alergi pada kulit

Pengertian.

Alergi yakni : Suatu golongan penyakit yang disebabkan oleh reaksi badan yang menyimpang terhadap suatu zat tertentu

Adalah suatu keadaan dimana terjadi hyper sensitivitas terhadap jenis masakan tertentu lantaran adversi berafiliasi dengan reaksi allergi type I ( Ig.E mediated ) Ada beberapa hal yang sanggup mengakibatkan timbulnya reaksi alergi, diantaranya yakni :

  • Bakat atau keturunan 
  • Faktor penggagas (Udara cuek / stress) 
  • Faktor Luar : Hirupan (debu rumah tangga), Makanan

Patogenesis.

Hingga kini patogenesis allergi masakan masih belum jelas. Mekanisme tersebut di bawah ini mungkin sanggup menggambarkan patogenesis allergi makanan, sbb :

Pathway allergi

Dalam keadaan normal, sehabis masakan masuk dalam susukan pencernaan, akan terjadi prose penghancuran secara mekanis, secara enzimatik,detoksifikasi, pengangkutan hasil final metabolisme dan asimilasi dari materi masakan yang essensial ibarat asam amino menjadi protein.

Bentuk metabolisme terakhir yakni E, yang dalam keadaan normal sanggup diterima oleh sel sehingga tidak terjadi reaksi adversi

Dalam tractus gastrointestinal terdapat S-IgA (secretory IgA ) yang akan mencegah absorbsi antigen dalam makanan, sehingga tidak terjadi allergi makanan.

Pada orang cukup umur atau bayi dengan devisiensi IgA akan terjadi absorbsi makromolekul protein masakan yang sanggup menjadikan allergi makanan. Demikian pula kalau terjadi gangguan pada degradasi enzimatik, sehingga masakan hanya sebagian didegradasi, hasil final yang ada sanggup bersifat antigenik


Manifestasi klinik.

Gejala yang paling sering timbul yaitu berkaitan dengan organ susukan pencernaan, kulit dan susukan pernapasan. Umumnya manifestasi klinis timbul dalam 2 jam sesuda makan masakan yang menjadikan allergi.

Gejala susukan cerna dimulai dari verbal berupa udema dan gatal-gatal (pruritus) pada bibir, selaput lendir mulut, langit-langit verbal dan farings, dimana masakan pertama kali berkontak. Bila masakan hingga ke usus, timbul tanda-tanda mual, muntah, perut kejang, kembung dan diare. Gejala pada kulit berbentuk urtikaria akut, angioudema sedang urtikaria kronik jarang disebabkan oleh alergi makanan.

Gejala pada susukan pernapasan antara lain : asma bronkhial dan lebih sering dijumpai pada anak-anak. Mungkin pula terjadi anafilaksis sistemik yang timbul beberapa menit sehabis makan masakan tertentu. Gejala anafilaksis sistemik sanggup berupa ; urtikaria, angioedema, sesak napas, sianosis, sakit dada, hipotensi atau rejatan, gejala-gejala hidung, mata(konyungtival ), mual, muntah dan diare.


Diagnostik
  • Anamnese : 
  1. Ditanyakan ihwal reaksi yang dicurigai yang disebabkan oleh makanan 
  2. Perlu ditanyakan pula ihwal adanya penyakit atopik ibarat : dermatitis atopik, asma bronkhial, rinitis alergi. Juga ditanyakan ihwal penyakit yang lalu, ibarat : urtikaria atau angioedema yang disebabkan oleh alergi. 
  • Pemeriksaan fisik : Diperlukan untuk mengetahui keadaan umum penderita, ibarat : keadaan kulit, hidung, paru dan perut. 
  • Diet Eliminasi : 
  • Tes Kulit. 
  • RAST ( Radio Alergo Sorbent Test ) 
  • Tes Provokasi makanan. Pengobatan dan pencegahan. 
  1. Penghindaran masakan yang mengakibatkan alergi ( Avoidance ) 
  2. Diet eliminasi 
  3. Pengobatan farmakologik : pengobatab symtomatik, Pengobatan profilaktik ( Anti histamin, krrtomolin dan ketotifen

Daftar pustaka

  1. Suparman, Ilmu penyakit dalam Jilid II. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 1990 
  2. Bahna SL : Management of food allergies.Annals of allergi,1984

Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com

√ Laporan Pendahuluan Intususepsi

Salam sobat sejawat sekalian. bagi seorang perawat pastinya tidak aneh lagi dengan yang nama nya laporan pendahuluan, alasannya ialah sebagai seorang perawat khususnya yang sedang mengenyam pendidikan di akademik pastilah sering bergelut dengan yang namanya laporan pendahuluan, terutama pada dikala mulai praktikum dirumah sakit dan juga bagi yang sedang menjalani agenda profesi ners.

bermaksud membantu sobat sejawat yang sedang membutuhkan laporan pendahuluan sebagai kiprah pada dikala praktik di rumah sakit. kali ini admin coba membagikan laporan pendahuluan Intususepsi

Untuk mend0wnl0ad Laporan pendahuluan intutusepsi lengkap beserta askepnya sudah berbentuk menyerupai makalah dalam bentuk Ms. Word silahkan klik disini


Pengertian

Intususepsi adalah inv@gin@si atau masuknya kepingan usus ke dalam perbatasan atau kepingan yang lebih distal dari usus (umumnya, inv@gin@si ileum masuk ke dalam kolon desendens). (Nettina, 2002)

Suatu intususepsi terjadi bila sebagian kanal cerna terdorong sedemikian rupa sehingga sebagian darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam suatu segmen yang terletak di sebelah kaudal. (Nelson, 1999)


Etiologi

Penyebab dari kebanyakan intususepsi tidak diketahui. Terdapat relasi dengan infeksi – infeksi virus adeno dan keadaan tersebut sanggup mempersulit gastroenteritis. Bercak – bercak peyeri yang banyak terdapat di dalam ileum mungkin berafiliasi dengan keadaan tersebut, bercak jaringan limfoid yang membengkak sanggup merangsang timbulnya gerakan peristaltic usus dalam upaya untuk mengeluarkan massa tersebut sehingga mengakibatkan intususepsi. Pada puncak insidens penyakit ini, kanal cerna bayi juga mulai diperkenalkan dengan bermacam materi baru. Pada sekitar 5% penderita sanggup ditemukan penyebab – penyebab yang dikenali, menyerupai divertikulum meckeli terbalik, suatu polip usus, duplikasi atau limfosarkoma. Secara jarang, keadaan ini akan mempersulit purpura Henoch – Schonlein dengan sutau hematom intramural yang bertindak sebagai puncak dari intususepsi. Suatu intususepsi pasca pembedahan jarang sanggup didiagnosis, intususepsi – intususepsi ini bersifat iloileal.


Patofisiologi dan Pathways

Pathway Intutusepsi

Kebanyakan intususepsi ialah ileokolik dan ileoileokolik, sedikit sekokolik dan jarang hanya ileal. Secara jarang, suatu intususepsi apendiks membentuk puncak dari lesi tersebut. Bagian atas usus, intususeptum, berinv@gin@si ke dalam usus di bawahnya, intususipiens sambil menarik mesentrium bersamanya ke dalam ansa usus pembungkusnya. Pada mulanya terdapat suatu konstriksi mesentrium sehingga menghalangi anutan darah balik. Penyumbatan intususeptium terjadi akhir edema dan perdarahan mukosa yang menghasilkan tinja berdarah, kadang – kadang mengandung lendir. Puncak dari intususepsi sanggup terbentang hingga kolon tranversum desendens dan sigmoid bahkan ke anus pada kasus – kasus yang terlantar. Setelah suatu intususepsi idiopatis dilepaskan, maka kepingan usus yang memebentuk puncaknya tampak edema dan menebal, sering disertai suatu lekukan pada permukaan serosa yang menggambarkan asal dari kerusakan tersebut. Kebanyakan intususepsi tidak menimbulkan strangulasi usus dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya sanggup menimbulkan gangren usus dan stress berat


Manifestasi Klinik

Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Pada tahap awal muncul tanda-tanda strangulasi berupa nyeri perut jago yang datang – tiba. Bayi menangis kesakitan dikala serangan dan kembali normal di antara serangan. Terdapat muntah berisi makanan/minuman yang masuk dan keluarnya darah bercampur lendir (red currant jelly) per rektum. Pada palpasi abdomen sanggup teraba massa yang umumnya berbentuk menyerupai pisang (silindris).

Dalam keadaan lanjut muncul tanda obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan muntah hijau fekal, sedangkan massa intraabdomen sulit teraba lagi. Bila inv@gin@si panjang hingga ke kawasan rektum, pada investigasi colok dubur mungkin teraba ujung inv@gin@t menyerupai porsio uterus, disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah.


Pemeriksaan Penunjang

  1. Foto polos abdomen menunjukkan kepadatan menyerupai suatu massa di tempat intususepsi. 
  2. Foto setelah proteksi enema barium menunjukkan gagguan pengisisan atau pembentukan cekungan pada ujung barium ketika bergerak maju dan dihalangi oleh intususepsi tersebut. 
  3. Plat datar dari abdomen mengatakan contoh yang bertingkat (inv@gin@si tampak menyerupai anak tangga).
  4. Barium enema di bawah fluoroskopi mengatakan tampilan coiled spring pada usus. 
  5. Ultrasonogram sanggup dilakukan untuk melokalisir area usus yang masuk

Prinsip pengobatan dan managemen keperawatan
  • Penurunan dari intususepsi sanggup dilakukan dengan suntikan salin, udara atau barium ke dalam kolon. Metode ini tidak sering dikerjakan selama terdapat suatu resiko perforasi, walaupun demikian kecil, dan tidak terdapat jaminan dari penurunan yang berhasil. 
  • Reduksi bedah : 
  1. Perawatan prabedah:Rutin, Tuba naso gastrik, Koreksi kehilangan cairan tubuh (jika ada) 
  2. Reduksi intususepsi dengan penglihatan langsung, menjaga usus hangat dengan salin hangat. Ini juga membantu penurunan edema. 
  3. Plasma intravena harus sanggup diperoleh pada kasus kolaps. 
  4. Jika intususepsi tidak sanggup direduksi, maka diharapkan reseci dan anastomosis primer. 
  • Penatalaksanaan pasca bedah: 
  1. Rutin 
  2. Perawatan inkubator untuk bayi yang kecil 
  3. Pemberian oksigen 
  4. Dilanjutkannya cairan intravena 
  5. Antibiotika
  6. Jika dilanjutkannya suatu ileostomi, drainase penyedotan dikenakan pada tuba ileostomi hingga kelanjutan dari lambung dipulihkan. 
  7. Observasi fungsi vital

Pengkajian
  • Pengkajian fisik secara umum 
  • Riwayat kesehatan 
  • Observasi contoh feses dan tingkah laris sebelum dan setelah operasi 
  • Observasi tingkah laris anak/bayi 
  • Observasi manifestasi terjadi intususepsi: 
  1. Nyeri abdomen paroksismal
  2. Anak menjerit dan melipat lutut ke arah dada
  3. Anak kelihatan normal dan nyaman selama interval diantara episode nyeri
  4. Muntah 
  5. Letargi 
  6. Feses menyerupai jeli kismis mengandung darah dan mucus, tes hemocculi positif. 
  7. Feses tidak ada meningkat 
  8. Distensi abdomen dan nyeri tekan 
  9. Massa terpalpasi yang menyerupai sosis di abdomen
  10. Anus yang terlihat tidak biasa, sanggup tampak menyerupai prolaps rectal. 
  11. Dehidrasi dan demam hingga kenaikan 410C
  12. Keadaan menyerupai stress berat dengan nadi cepat, pucat dan keringat banyak 
  • Observasi manifestasi intususepsi yang kronis 
  1. Diare Anoreksia
  2. Kehilangan berat badan
  3. Kadang – kadang muntah
  4. Nyeri yang periodic 
  5. Nyeri tanpa tanda-tanda lain 
  • Kaji dengan mekanisme diagnostik dan tes menyerupai investigasi foto polos abdomen, barium enema dan ultrasonogram

Masalah Keperawatan 

  1. Nyeri berafiliasi dengan inv@gin@si usus. 
  2. Syok hipolemik berafiliasi dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam lumen. 
  3. Ansietas berafiliasi dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang asing. 
  4. Inefektif termoregulasi berafiliasi dengan proses inflamasi, demam. 
  5. Nyeri berafiliasi dengan insisi pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Staf Pengajar Ilmu kesehatan masyarakat. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, 1985 
  2. Pilliteri, Adele. Child health nursing, care of the child and family, Los Angeles California, Lippincott, 1999 
  3. Wong, Donna L, Marilyn Hockenberry- Eaton, Wilson- Winkelstein, Wong’s essentials of pediatric nursing, America, Mosby, 2001 
  4. Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan,dkk. Jakarta, 2001 
  5. Wong, Donna L. Wong and Whaley’s clinical Manual Of Pediatric Nursing. St. Louis Nissori: Mosby, 1996


Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com

Tuesday, September 19, 2017

√ Laporan Pendahuluan Ca Mammae

Salam sobat sejawat sekalian. bagi seorang perawat pastinya tidak asing lagi dengan yang nama nya laporan pendahuluan atau yang sering disingkat LP, alasannya ialah sebagai seorang perawat khususnya yang sedang mengenyam pendidikan di akademik pastilah sering bergelut dengan yang namanya laporan pendahuluan, terutama pada ketika mulai praktikum dirumah sakit dan juga bagi yang sedang menjalani aktivitas profesi ners.

bermaksud membantu sobat sejawat yang sedang membutuhkan laporan pendahuluan sebagai kiprah pada ketika praktik di rumah sakit. kali ini admin coba membagikan laporan pendahuluan (LP) Ca Mammae

Untuk mend0wnl0ad LP Ca Mamae dalam bentuk Ms. Word silahkan d0wnl0ad dibawah :


Laporan Pendahuluan Ca mammae - LP Ca mammae

A. PENGERTIAN CARSINOMA MAMMAE

Carsinoma mammae ialah neolasma ganas dengan pertumbuhan jaringan mammae aneh yang tidak memandang jaringan sekitarnya, tumbuh infiltrasi dan destruktif sanggup bermetastase ( Soeharto Resko Prodjo, 1995).

Carsinoma mammae merupakan gangguan dalam pertumbuhan sel normal mammae dimana sel aneh timbul dari sel – sel normal, berkembang biak dan menginfiltrasi jaringan limfe dan pembuluh darah (Lynda Juall Carpenito, 1995).


B. PENYEBAB DAN FAKTOR PREDISPOSISI

Menurut C. J. H. Van de Velde

  1. Ca Payudara yang terdahulu : Terjadi malignitas sinkron di payudara lain alasannya ialah mammae ialah organ berpasangan 
  2. Keluarga : Diperkirakan 5 % semua kanker ialah predisposisi keturunan ini, dikuatkan bila 3 anggota keluarga terkena carsinoma mammae. 
  3. Kelainan payudara ( benigna ) : Kelainan fibrokistik ( benigna ) terutama pada periode fertil, telah ditunjukkan bahwa perempuan yang menderita / pernah menderita yang porliferatif sedikit meningkat. 
  4. Makanan, berat tubuh dan faktor resiko lain Status sosial yang tinggi menawarkan resiko yang meningkat, sedangkan berat tubuh yang berlebihan ada hubungan dengan kenaikan terjadi tumor yang bekerjasama dengan oestrogen pada perempuan post menopouse. 
  5. Faktor endokrin dan reproduksi Graviditas matur kurang dari 20 tahun dan graviditas lebih dari 30 tahun Menarche kurang dari 12 tahun 
  6. Obat anti konseptiva oral Penggunaan pil anti konsepsi jangka panjang lebih dari 12 tahun memiliki resiko lebih besar untuk terkena kanker.

C. GAMBARAN KLINIK

Menurut William Godson III. M. D

  1. Tanda carsinoma Kanker payudara sekarang memiliki ciri fisik yang khas, menyerupai pada tumor jinak, massa lunak, batas tegas, mobile, bentuk lingkaran dan elips 
  2. Gejala carsinoma Kadang tak nyeri, kadang nyeri, adanya keluaran dari puting susu, puting eritema, mengeras, asimetik, inversi, tanda-tanda lain nyeri tulang, berat tubuh turun sanggup sebagai petunjuk adanya metastase.

D. ANATOMI

Anatomi Mamae



E. PATOFISIOLOGI


Carsinoma mammae berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi pada sistem duktal, mula – mula terjadi hiperplasia sel – sel dengan perkembangan sel – sel atipik. Sel - sel ini akan berlanjut menjadi carsinoma insitu dan menginvasi stroma. Carsinoma membutuhkan waktu 7 tahun untuk bertumbuh dari sel tunggal hingga menjadi massa yang cukup besar untuk sanggup diraba ( kira – kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu kira – kira seperempat dari carsinoma mammae telah bermetastasis. Carsinoma mammae bermetastasis dengan penyebaran eksklusif ke jaringan sekitarnya dan juga melalui terusan limfe dan anutan darah ( Price, Sylvia, Wilson Lorrairee M, 1995 ).


F. PATHWAYS

Pathway Ca mamae
Untuk mend0wnl0ad pathway Ca mamae format doc, DISINI

Masalah keperawatan :

  1. Nyeri bekerjasama dengan manipulasi jaringan dan atau stress berat alasannya ialah pembedahan, interupsi saraf, diseci otot. 
  2. Kerusakan integristas kulit bekerjasama dengan perubahan sirkulasi, adanya edema, destruksi jaringan. 
  3. Resiko terjadi infeksi bekerjasama dengan kerusakan drainase limpatik necrose jaringan. 
  4. Gangguan gambaran tubuh bekerjasama dengan kehilangan mammae dan atau perubahan gambaran mammae. 
  5. Kurang pengetahuan bekerjasama dengan carsinoma mammae dan pilihan pengobatan 
  6. Nutrisi kurang dari kebutuhan bekerjasama dengan kemotherapi 
  7. Anxietas bekerjasama dengan lingkungan Rumah Sakit yang tidak dikenal, ketidakpastian ihwal hasil pengobatan carsinoma, perasaan frustasi dan tak berdaya dan ketidak cukupan pengetahuan ihwal carsinoma dan pengobatan.

G. FOKUS PENGKAJIAN

1. Nyeri bekerjasama dengan manipulasi jaringan dan atau stress berat alasannya ialah pembedahan, interupsi saraf, diseci otot.
a. Kaji tingkat nyeri dengan P. Q. R. S. T.
  • Provoking : Penyebab
  • Quality : Kwalitas
  • Region : Lokasi
  • Severate : Skala
  • Time : Waktu

b. Kaji efek nyeri pada individu dengan memakai individu dan keluarga

  • Kinerja ( pekerjaan ) tanggung jawab peran
  • Interaksi sosial
  • Keuangan
  • Aktifitas sehari – hari
  • Kognitif / alam perasaan
  • Unit keluarga ( respon anggota keluarga )

2. Kerusakan integritas kulit bekerjasama dengan perubahan sirkulasi, adanya edema, destruksi jaringan Hal yang dikaji :

  • Identifikasi faktor penyebab kerusakan integritas
  • Identifikasi rasional untuk pencegahan dan pengobatan, kerusakan integritas
  • Identifikasi tahap perkembangan
  1. C1 Tahap I : eritema yang tidak memutih dari kulit yang utuh
  2. C2 Tahap II : ulserasi pada epidermis atau dermis
  3. C3 Tahap III : ulserasi mencakup lemak kutan
  4. C4 Tahap IV : ulserasi meluas otot, indera pendengaran dan struktur penunjang

3. Resiko terjadinya infeksi bekerjasama dengan kerusakan drainase limfatik, necrose jaringan

  • Kaji tanda radang
  • Kaji intake
  • Kaji santunan obat dengan 5 benar ( waktu, obat, nama, dosis, cara)
  • Kaji hasil laboratorium ( Hb, Albumin, Lekosit)
4. Gangguan gambaran tubuh bekerjasama dengan kehilangan mammae dan atau perubahan gambaran mammae Hal yang dikaji :
  • Kaji perasaan terhadap kehilangan dan perubahan mammae
  • Kaji respon negatif ekspresi dan non verbal
5. Kurang pengetahuan bekerjasama dengan carsinoma mammae dan pilihan pengobatan Hal yang dikaji :
  • Tingkat pendidikan
  • Kemampuan dalam mempersepsikan status kesehatan
  • Perilaku kesehatan yang tidak tepat
6. Nutrisi kurang dari kebutuhan bekerjasama dengan kemotherapi Hal yang dikaji :
  • Kaji intake b. Pantau berat badannya
  • Kaji hasil laboratorium ( Hb, Albumin, Gula darah )
  • Kaji mual dan muntah
7. Ansietas bekerjasama dengan lingkungan Rumah Sakit yang tidak dikenal, ketidak pastian ihwal pengaobatan, perasaan frustasi dan tak berada, ketidak cukupan pengetahuan carsinoma dan pengobatan Hal yang dikaji :
  • Kaji dan ukur tanda - tanda vital
  • Kaji tingkat kecemasan, ringan, sedang, berat, panik
  • Kaji tingkat pendidikan

H. FOKUS INTERVENSI

Fokus intervensi dari perawatan pasien dengan carsinoma mammae
1. Nyeri bekerjasama dengan manipulasi jaringan dan atau stress berat alasannya ialah pembedahan, interupsi, diseci otot ( Danielle Gale, 1995; Doengos, 1993)

Kriteria penilaian : Pasien mengekspresikan penurunan nyeri

Intervensi : Perhatikan lokasi nyeri, lamanya dan intensitasnya ( skala 1-10), perhatikan respon ekspresi dalam mengungkapkan nyeri, bantu pasien untuk posisi yang nyaman serta tindakan yang sanggup memberi kenyamanan menyerupai masase punggung, dorong ambualasi dini dan teknik relaksasi, berikan obat sesuai pesanan.

2. Kerusakan integritas kulit bekerjasama dengan perubahan sirkulasi adanya edema, destruksi jaringan ( Doengos, 1993)

Kriteria penilaian : Akan terjadi penyembuhan luka bebas drainase, purulen atau eritema

Intervensi Obsrvasi balutan / luka sesudah dilakukan perawatan luka, guna mengetahui karakteristik luka, drainase, quasi edema, kemerahan dan insisi pada mammae, tempatkan pada posisi semi fowler pada sisi puggung yang tidak sakit, injeksi dibagian yang tidak sakit, kosongkan drain secara periodik, catat jumlah dan karakteristik

3. Resiko terjadinya infeksi bekerjasama dengan kerusakan drainase limfalik alasannya ialah diseci nodus limfe aksilaris dan adanya drain pembedahan ( Danielle Gale, 1945)

Kriteria penilaian Tidak ada infeksi pada extremitas yang sakit dan atau pada kawasan luka pembedahan

Intervensi Observasi lengan yang sakit terhadap adanya tanda – tanda infeksi, observasi integritas kulit yang tertutup diatas dinding dada terhadap tanda dan tanda-tanda kemerahan, pembengkakan dan drainase, amis tidak sedap, serta warna kekuning – kuningan atau kehijau – hijauan, hindari penggunaan extremitas yang sakit untuk pemasangan infus, observasi kawasan pemasangan drainase terhadap adanya tanda kemerahan, nyeri pembengkakan, atau adanya drainase purulenta, observasi kulit dan rawat kuku pada kawasan yang sakit.

4. Gangguan gambaran tubuh bekerjasama dengan kehilangan mammae dan atau perubahan gambaran dari mastektomi segmental dan atau radiasi mammae ( Dainalle Galle, 1995)

Kriteria penilaian Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaannya ihwal diagnosa carsinoma mammae, pengobatannya dan dampak yang diperlukan atas gaya hidup, penilaian perasaan pasien atas kehilangan mammae pada aktifitas secual, hubungan dan gambaran tubuhnya, berikan kesempatan pasien terhadap rasa berduka atas kehilangan mammae, izinkan pasien mengungkapkan perasaan negatifnya.

5. Kurang pengetahuan bekerjasama dengan carsinoma mammae dan pilihan pengobatan ( Daianlle Galle, 1995)

Kriteria penilaian Pasien sanggup berperan serta dalam pengambilan keputusan akan pengobatan carsinoma , pasien mendiskusikan rasional dari pengobatan dan mengungkapkan tindakan – tindakan yang kemungkinan timbul dari efek samping

Intervensi Observasi pengetahuan pasien / keluarga mengenai carsinoma mammae dan anjurkan pengobatannya , jelaskan patofisiologi dari carsinoma mammae, hindari janji – janji yang tidak mungkin, berikan isu ihwal pilihan pengobatan yang sesuai

6. Anxietas bekerjasama dengan lingkungan Rumah Sakit yang tidak dikenal, ketidak pastian pengobatan carsinoma, perasaan frustasi dan tak berdaya dan ketidak cukupan isu dan pengobatannya ( Lynda Juall, 1993 )

Kriteria penilaian Pasien akan menyebarkan duduk kasus mengenai diagnosa carsinoma

Intervensi Berikan kesempatan pasien dan keluarga mengungkapkan perasaan, lakukan kontak sering, berikan suasana ketenangan dan rileks, tunjukkan perilaku yang tidak menilai dan mendengar penuh perhatian, dorong diskusi ihwal carsinoma dan pengalaman orang lain

7. Nutrisi kurang dari kebutuhan bekerjasama dengan kemotherapi ( Danielle galle, 1995 )

Kriteria penilaian Berat tubuh naik atau turun

Intervensi Monitor untuk mekanan tiap hari, timbang tubuh tiap hari jikalau memungkinkan, jelaskan pentingnya nutrisi adekuat, observasi ulang makanan pantang dan kesukaan, manipulasi lingkungan yang nyaman, bersih, dan tak berbau, anjurkan makan porsi kecil dan sering, kerja sama andal gizi untuk santunan diet TKTP


DAFTAR PUSTAKA 

  • Carpenito, Lynda Juall (1995), Buku saku diagnosa keperawatan dan dokumentasi, edisi 4, Alih Bahasa Yasman Asih, Jakarta, EGC 
  • C. J. H. Van de Velde (1996), Ilmu bedah, Edisi 5, Alih Bahasa “ Arjono” Penerbit Kedokteran, Jakarta, EGC Carpenito, 
  • Lynda Juall (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, edisi 8, alih Bahasa Monica Ester, Jakarta, EGC 
  • Daniell Jane Charette (1995), Ancologi Nursing Care Plus, Elpaso Texas, USA Alih Bahasa Imade Kariasa, Jakarta, EGC 
  • Theodore R. Schrock, M. D (1992), Ilmu Bedah, Edisi 7, Alih Bahasa Drs. Med Adji Dharma, dr. Petrus Lukmanto, Dr gunawan. Penerbit Kedokteran Jakarta, EGC 
  • Thomas F Nelson, Jr M. D (1996), Ilmu Bedah, edisi 4, Alih Bahasa Dr. Irene Winata, dr. Brahnu V Pendit. Penerbit Kedokteran, Jakarta, E G C



Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com

√ Laporan Pendahuluan Cedera Kepala

Salam sobat sejawat sekalian. bagi seorang perawat pastinya tidak gila lagi dengan yang nama nya laporan pendahuluan atau yang sering disingkat LP, lantaran sebagai seorang perawat khususnya yang sedang mengenyam pendidikan di akademik pastilah sering bergelut dengan yang namanya laporan pendahuluan, terutama pada ketika mulai praktikum dirumah sakit dan juga bagi yang sedang menjalani agenda profesi ners.

bermaksud membantu sobat sejawat yang sedang membutuhkan laporan pendahuluan sebagai kiprah pada ketika praktik di rumah sakit. kali ini admin coba membagikan laporan pendahuluan (LP) Cedara Kepala

Untuk mend0wnl0ad Laporan pendahuluan (LP) Cedera Kepala silahkan d0wnl0ad dibawah ini :


Laporan Pendahuluan Cedera kepala (Trauma Capitis)


A. DEFINISI

Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akhir perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) menyampaikan cidera kepala ialah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Cedera kepala berdasarkan Suriadi & Rita (2001) ialah suatu stress berat yang mengenai kawasan kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akhir injury baik secara eksklusif maupun tidak eksklusif pada kepala. Sedangkan berdasarkan Satya (1998), cedera kepala ialah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang stress berat tumpul maupun stress berat tembus.


B. KLASIFIKASI

Cedera kepala sanggup dilasifikasikan sebagai berikut :

1. Berdasarkan Mekanisme

  • Trauma Tumpul, Trauma tumpul ialah stress berat yang terjadi akhir kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan ketika olahraga, kecelakaan ketika bekerja, jatuh, maupun cedera akhir kekerasaan (pukulan). 
  • Trauma Tembus, Trauma yang terjadi lantaran tembakan maupun bacokan benda-benda tajam/runcing.

2. Berdasarkan Beratnya

Cidera Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Cedera kepala ringan

  • GCS 13 - 15 
  • Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
  • Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma 
b. Cedera kepala sedang

  • GCS 9 - 12
  • Saturasi oksigen > 90 % 
  • Tekanan darah systole > 100 mmHg 
  • Lama insiden < 8 jam  Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam 
  • Dapat mengalami fraktur tengkorak 
c. Cedera kepala berat

  • GCS 3 – 8 
  • Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam 
  • Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral 
Pada penderita yang tidak sanggup dilakukan investigasi misal oleh lantaran aphasia, maka reaksi lisan diberi tanda “X”, atau oleh lantaran kedua mata edema berat sehingga tidak sanggup di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan kalau penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi lisan diberi nilai “T”.


3. Berdasarkan Morfologi

a. Cedera kulit kepala Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala sanggup menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.

b. Fraktur Tengkorak Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang mencakup pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan kawasan kalvaria, durameter kawasan basis lebih tipis dibandingkan kawasan kalvaria, durameter kawasan basis lebih menempel erat pada tulang dibandingkan kawasan kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur kawasan basis menjadikan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000).

Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii mencakup :

  1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak mengakibatkan sembelit. 
  2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, kalau perlu dilakukan tampon steril (consul hebat tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea. 
  3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).

c. Cedera Otak

1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)

Commotio Cerebri (Gegar Otak) ialah cidera otak ringan lantaran terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya insiden cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan setelah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).

Menurut dokter hebat seorang hebat penyakit syaraf dan dokter hebat bedah syaraf, gegar otak terjadi kalau coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, sanggup diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.

2) Contusio Cerebri (Memar Otak)

Merupakan perdarahan kecil jaringan akhir pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bantu-membantu dengan rusaknya jaringan saraf/otak di kawasan sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi ialah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi insiden cidera kepala. Contusio pada kepala ialah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak sentra encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak sanggup dikendalikan (decebracio rigiditas).

3) Perdarahan Intrakranial

  • Epiduralis haematoma ialah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akhir robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma sanggup juga terjadi di tempat lain, ibarat pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior. 
  • Subduralis haematoma Subduralis haematoma ialah insiden haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, lantaran tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). 
  • Subrachnoidalis Haematoma Kejadiannya lantaran perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari ialah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, lantaran bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak. 
  • Intracerebralis Haematoma Terjadi lantaran pukulan benda tumpul di kawasan korteks dan subkorteks yang menjadikan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga lantaran tekanan pada durameter belahan bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.

4. Berdasarkan Patofisiologi

  • Cedera kepala primer Akibat eksklusif pada prosedur dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang mengakibatkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer sanggup terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi. 
  • Cedera kepala sekunder Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, ibarat hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.

C. ETIOLOGI

1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala ialah lantaran adanya stress berat yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :

  • Trauma primer, Terjadi lantaran benturan eksklusif atau tidak eksklusif (akselerasi dan deselerasi) 
  • Trauma sekunder Terjadi akhir dari stress berat saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik. 
2. Trauma akhir persalinan
3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada ketika olahraga.
4. Jatuh
5. Cedera akhir kekerasan


D. MANIFESTASI KLINIK
  1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih 
  2. Kebingungan 
  3. Iritabel 
  4. Pucat 
  5. Mual dan muntah 
  6. Pusing 
  7. Nyeri kepala hebat 
  8. Terdapat hematoma 
  9. Kecemasan 
  10. Sukar untuk dibangunkan 
  11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan indera pendengaran (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

E. PATOFISIOLOGI

Pathway Cedera kepala
Download pathway cedera kepala doc, DISINI

Otak sanggup berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa sanggup terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak memiliki cadangan oksigen, jadi kekurangan fatwa darah ke otak walaupun sebentar akan mengakibatkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai materi bakar metabolisme otak dihentikan kurang dari 20 mg %, lantaran akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun hingga 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

Pada ketika otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang sanggup mengakibatkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akhir metabolisme anaerob. Hal ini akan mengakibatkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) ialah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akhir adanya perdarahan otak akan mensugesti tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler mengakibatkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi

Menurut Long (1996) stress berat kepala terjadi lantaran cidera kepala, kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma eksklusif bila kepala eksklusif terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma eksklusif juga mengakibatkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum sanggup terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur materi padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.

Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan hingga tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin lantaran memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder sanggup terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya mencakup hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang sanggup mengakibatkan cedera otak sekunder mencakup hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang mencakup kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh ekspansi massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini mengakibatkan koma bukan lantaran kompresi pada batang otak tetapi lantaran cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

Sedangkan patofisiologi berdasarkan Markum (1999). stress berat pada kepala mengakibatkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh pertolongan otak, hal itu mengakibatkan pembuluh darah robek sehingga akan mengakibatkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mensugesti pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan mengakibatkan odema cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan mengakibatkan distorsi pada otak, lantaran isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat karenanya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).


F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
  1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. 
  2. MRI Digunakan sama ibarat CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
  3. Cerebral Angiography Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, ibarat : perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma. 
  4. EEG (Elektroencepalograf) Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis 
  5. X-Ray Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang. 
  6. BAER Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil 
  7. PET Mendeteksi perubahan acara metabolisme otak
  8. CSF, Lumbal Pungsi Dapat dilakukan kalau diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal. 
  9. ABGs Mendeteksi keberadaan ventilasi atau duduk masalah pernapasan (oksigenisasi) kalau terjadi peningkatan tekanan intrakranial 
  10. Kadar Elektrolit Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akhir peningkatan tekanan intrkranial 
  11. Screen Toxicologi Untuk mendeteksi imbas obat sehingga mengakibatkan penurunan kesadaran.
G. KOMPLIKASI
  1. Hemorrhagie 
  2. Infeksi 
  3. Edema serebral dan herniasi

H. PENATALAKSANAAN
  • Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan stress berat kepala ialah sebagai berikut: Observasi 24 jam 
  • Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Makanan atau cairan, pada stress berat ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
  • Berikan terapi intravena bila ada indikasi. 
  • Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
  • Terapi obat-obatan. 
  1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, takaran sesuai dengan berat ringanya trauma. 
  2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi. 
  3. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. 
  4. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (p3enisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol. 
  5. Pada stress berat berat. lantaran hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). 
  • Pembedahan bila ada indikasi

I. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

1. PENGKAJIAN

a. Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan : Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada susukan napas, adanya liquor dari hidung dan indera pendengaran dan kejang Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berafiliasi dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang memiliki penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut sanggup dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti lantaran sanggup mensugesti prognosa klien.
d. Pengkajian persistem

  1. Keadaan umum 
  2. Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma 
  3. TTV 
  4. Sistem Pernapasan Perubahan tumpuan napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas suara ronchi. 
  5. Sistem Kardiovaskuler Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi kemudian takikardi. 
  6. Sistem Perkemihan Inkotenensia, distensi kandung kemih 
  7. Sistem Gastrointestinal Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan selera 
  8. SistemMuskuloskeletal Kelemahan otot, deformasi 
  9. Sistem Persarafan Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan . 
Tanda : perubahan kesadaran hingga koma, perubahan status mental, perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a. Nervus cranial

  • N.I : penurunan daya penciuman, 
  • N.II : pada stress berat frontalis terjadi penurunan penglihatan 
  • N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun, perubahan ukuran pupil, bola mta tidak sanggup mengikuti perintah, anisokor. 
  • N.V : gangguan mengunyah 
  • N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah 
  • N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh 
  • N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan

2. KEMUNGKINAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

  • Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan 
  • Pola napas tidak efektif b.d kerusakan sentra pernapasan di medula oblongata 
  • Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hiposksia 
  • Perubahan persepsi sensori b.d defisit neorologis. 
  • Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK. 
  • Kerusakan mobilitas fisik b.d imobilitas. 
  • Resti injury b.d kejang. 
  • Resti infeksi b.d kontinuitas yang rusak 
  • Resti gangguan intregritas fisik b.d imobilitas 
  • Resti kekurangan volume cairan b.d mual-muntah

lanjutan -- askep cedera kepala



DAFTAR PUSTAKA
  • Doenges, M. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Car. 2 nd ed. Philadelpia : F.A. Davis Company. 
  • Long; B and Phipps W. 1985. Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach. St. Louis : Cv. Mosby Company. 
  • Asikin, Z. 1991. Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. Jakarta. 
  • Harsono. 1993. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press Saanin, S dalam Neurosurgeon. mailto:%20saanin@padang.wasantara.net.id 
  • Cecily, L & Linda A. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC. 
  • Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC. Iskandar. 2004. Cedera Kepala. Jakarta Barat: PT. Bhuana Ilmu Populer. 
  • Suriadi & Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Jakarta: CV Sagung 
  • Seto Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC 
  • Bajamal, A. 1999. Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. Surabaya. Umar, K. 1998. Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala Surabaya : Airlangga Univ. Press. 
  • Umar, K. 2000. Penanganan Cidera Kepala Simposium. Tretes : IKABI. Vincent, J. 1996. Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxi. Germany

Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com