Hari ini saya bersyukur, atas seijin Tuhan, saya dan suamiku telah dipertemukan dengan seseorang. Seorang ibu yang berhasil memperlihatkan banyak pelajaran berharga padaku setelah bertemu dan sedikit berbincang-bincang dengannya tadi pagi.
Sebut saja namanya Bu Ana (*bukan nama sebenarnya, nama sengaja disamarkan demi menjaga privacy si ibu). Dulunya dia seorang guru paud. Dari kasak-kusuk yang saya tahu, dia dikenal mempunyai kepribadian yang agak berbeda dari orang pada umumnya. Sebagian orang menganggapnya "rada-rada". Entah maksudnya rada lemot, rada (*maaf) kurang waras atau gimana.
Singkat cerita, selama mengajar ia sering menerima perlakuan kurang mengenakkan dari teman sesama profesinya, alasannya ialah mungkin dianggap kurang berpotensi. Sehingga ia keluar dari pekerjaannya. Hingga pada akhirnya, petaka pun tiba silih berganti.
Kata beliau, suaminya kini keluar dari pekerjaannya. Tapi dari kasak kusuk yang terdengar, kabarnya si suami terkena PHK dari perusahaan tempatnya bekerja. Subhanallah, kalau memang isu itu benar, sungguh mulianya seorang istri yang tidak mengeluhkan persoalan yang sedang dihadapi suaminya bahkan menutupi kekurangan suaminya pada orang lain.
Ditambah lagi, sudah usang anaknya juga sedang mengalami penyakit yang cukup terbilang kronis. Dan lagi-lagi, ia tidak tampak mengeluhkan keadaannya.
"Saya juga kalo lagi di rumah sambil momong anak kok mbak", hanya itu ceritanya.Bu Ana, terkadang papaku memanggil ia bu haji. Ya bu haji/ hajah. Yang artinya ia pernah pergi ke tanah suci untuk beribadah haji. (*Ini sih lupa-lupa ingat, suaminya aja yang berhaji atau barengan ama si ibu juga, tapi papaku kadang tetap panggil dia bu haji). Ibadah haji, yang berdasarkan perintah agama Islam memang perlu dilaksanakan terutama bagi orang yang mampu.
Bu Ana, seorang mantan guru yang pernah kuliah itu, kini berdagang nasi pecel. Sambil mengayuh sepeda, nasi pecelnya ia jajakan setiap pagi keliling komplek dengan kakinya yang beralaskan sandal jepit. Ya sepeda ontel, bukan sepeda motor.
Berbekal nasi di dalam rantang yang dia taruh di keranjang depan sepedanya. Pilihan lauk pun hanya satu saja, tidak ada pilihan lain. Walaupun memang setiap hari ia menyajikan hidangan lauknya berbeda, entah itu bandeng presto, ikan panggang atau ayam. Ya, mungkin keterbatasan modal sehingga ia hanya bisa menyajikan satu hidangan saja. Lauk, bumbu pecel, sayur, dan daun pisang pembungkus nasi pecel ia taruh di kantong menyerupai kantong tas kurir barang yang terbuat dari karung yang disematkan di boncengan sepedanya.
Ia tetap terlihat tegar dan bersyukur dengan keadaannya yang sekarang. Keadaan yang mungkin sama sekali dia tidak pernah inginkan. Namun ia jalani seolah tanpa beban dan tak pernah sedikitpun terlihat duka atau mengeluh.
"Yang penting kerja halal ya mbak", katanya dengan senyumnya yang terlihat bangga. Oh andai ibu tahu, saya pun merasa sangat gembira bisa bertemu eksklusif denganmu.Bahkan dalam keadaan yang mungkin bagi sebagian orang merasa Tuhan tidak pernah adil dengan apa yang terjadi pada kehidupannya, ia dengan teguh masih setia beribadah berjamaah di masjid. Mengingat karuniaNya, bersyukur dengan semua rejeki yang telah diperoleh. Berdoa dan berkeluh kesah hanya padaNya. Pun ia juga rutin ikut pengajian di kompleks rumahnya. Terkadang juga dengan tulus ia memberi nasi pecel gratis untuk sang imam masjid.
Ya Tuhan, aib hati ini. MALU, alasannya ialah sering mengeluh walau sedang menghadapi persoalan kecil sekalipun. Malah kadang hingga ku update permasalahanku di status FBku. Pajang DP BBM yang ada sangkut pautnya dengan permasalahanku kalau lagi kesel biar semua orang pada tahu.
MALU, alasannya ialah sering merasa Engkau tak adil dengan apa yang terjadi padaku, Tuhan. Seolah persoalan tiba bertubi-tubi hingga membuatku mengeluh "Ya Allah, persoalan apa lagi ini, ya Allah..".
Sedangkan Bu Ana, yang masalahnya terlihat lebih rumit bahkan jauh lebih rumit daripada masalahku, tetap terlihat damai menjalani hari-harinya. Seolah tak pernah ada yang perlu dikeluhkan dan disesali. Seolah ia sudah tahu bahwa roda niscaya berputar, dan ia siap menghadapinya kapanpun Allah menghendaki.
Baru hari ini saya bisa bertemu eksklusif dengan beliau. Hari ini hidangan lauk nasi pecel ia ialah ayam suwir. Nasi pecel yang sedap dan nikmat alasannya ialah bumbunya dibikin sendiri. Dengan sayurnya yang khas, berisi tauge dan kembang turi. Nasi pecel yang harum alasannya ialah terbungkus full dengan daun pisang. Beliau hargai hanya dengan Rp.7.000. Ya, harga yang terbilang cukup murah dengan porsi yang melimpah.
Tadi, saya beli dua bungkus saja, yang artinya saya harus membayar Rp.14.000,-. Kebetulan saya sedang mengantongi uang Rp.15,000,- dan kupakai untuk membayar nasi pecel si Ibu.
"Udah Bu kembaliannya nggak usah", kataku sambil menyodorkan uang pembayaranku.Maksudku bilang begitu biar si Ibu nggak usah repot cari uang kembalian dan bisa eksklusif pulang, alasannya ialah bumbu pecelnya juga udah habis. Meskipun sepintas kulihat nasi dan sayurnya masih ada. Dan tanpa disangka, seketika itu juga tanggapan si Ibu Ana berhasil membuatku makin merinding.
"Eh enggak mbak, jangan", sahutnya.Ya Allah, kesentil bangeeetttt ini hati. Duh Gusti, duit kembalian seribu rupiah yang udah ku ikhlasin nggak perlu pakai kembalian aja dia nggak mau terima. Benar-benar ia tolak, ia takut nggak halal. Nah gimana dengan duit hasil nilep, hasil suap, hasil riba, hasil korupsi, dan kawan-kawannya?
"Nggak apa-apa bu", jawabku.
"Aduh jangan mbak nanti NGGAK BERKAH NGGAK HALAL, bentar saya ambilin kembaliannya yang seribu", kata Bu Ana.
Ya Allah, bersyukur banget bisa bertemu dengan ibu Ana. Ibu penjual nasi pecel yang "mahal" ini memperlihatkan saya dan suamiku banyak pelajaran dan ilmu berharga walaupun bukan dari nasehatnya, melainkan dari sikap dan tutur katanya. Nasi pecel yang terlihat sederhana yang berharga "murah", namun banyak tersimpan ilmu yang "mahal" di dalamnya.
Banyak sekali hikmah yang bisa saya petik dari pelajaran Bu Guru Ana. Melalui nasi pecelnya yang "mahal" ini, ia mengajarkanku betapa kita harus selalu bersyukur dengan apapun yang terjadi, jangan pernah mengeluh. Bagaimanapun keadaannya, tetap carilah rejeki yang halal dan barokah, jangan pernah berharap belas kasihan orang lain. Dan jangan lupa tetap menyebarkan dengan sesama walau dalam keadaan sempit sekalipun, walaupun kau hanya bisa berzakat sebungkus nasi pecel atau bahkan memberi bonus komplemen porsi berlebih untuk pelangganmu.
Meskipun hanya melalui sikapnya, ia seolah mengingatkanku bahwa semua yang terjadi di kehidupan kita ini ialah atas kehendakNya. Tuhan selalu punya maksud dan tujuan untuk kita menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi. Walaupun mungkin dengan cara yang tidak pernah kita inginkan bahkan sekalipun tidak bisa kita pahami.
Terimakasih Ibu Ana, walaupun engkau tidak lagi menjadi seorang Guru, tapi engkau tetap bagaikan seorang Guru buatku. Perjuanganmu ialah inspirasiku. Walaupun orang-orang anggap engkau "lemot" atau apapun itu, namun saya tetap menganggapmu "orang hebat", alasannya ialah saya belum tentu bisa setegar dirimu. Terimakasih telah membuatku menulis kisah ini sambil berkaca-kaca, bukan semata alasannya ialah saya kasihan kepadamu. Melainkan alasannya ialah saya sangat aib pada diriku sendiri. Terimakasih Tuhan, alasannya ialah engkau kirimkan Ibu Ana kepadaku hari ini, untuk menyentil diriku semoga selalu ingat padaMu.
Engkau memang bukan lagi seorang guru, tapi bisa jadi ini memang kehendakNya. Karena mungkin Tuhan tahu bahwa engkau tidak layak kalau menjadi seorang guru Paud. Engkau lebih layak mengelola rumah makan/restoran milikmu suatu ketika nanti, alasannya ialah masakanmu sangat enak. Apalagi dibuatnya dengan penuh cinta dan rasa syukur.
Aku percaya tidak ada kerja keras yang sia-sia. ALLAH akan hadirkan pelangi setelah hujan dan badai.
“Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.”
(QS. Alam Nasyroh: 5-6)
Semoga ibu sekeluarga selalu diberi kesehatan dan Allah bukakan pintu rejeki yang selebar-lebarnya. Aamiiinnn....
Sumber http://jemariayumna.blogspot.com