JUMLAH pecahan yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja jago waris yang termasuk ashhabul furudh dengan pecahan yang berhak ia terima.
A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan pria dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya menyerupai berikut:
1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak memiliki keturunan, baik anak pria maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya yaitu firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) menerima separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak memiliki anak ..." (an-Nisa': 12)
2. Anak perempuan (kandung) menerima pecahan separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
Pewaris tidak memiliki anak pria (berarti anak perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki, penj.).
Apabila anak perempuan itu yaitu anak tunggal. Dalilnya yaitu firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia menerima separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak menerima pecahan setengah.
3. Cucu perempuan keturunan anak pria akan menerima pecahan separo, dengan tiga syarat:
Apabila ia tidak memiliki saudara pria (yakni cucu pria dari keturunan anak laki-laki).
Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak pria tersebut sebagai cucu tunggal).
Apabila pewaris tidak memiliki anak perempuan ataupun anak laki-laki.
Dalilnya sama saja dengan dalil pecahan anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak pria sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi auladikum", meliputi anak dan anak pria dari keturunan anak, dan hal ini telah menjadi janji para ulama.
4. Saudara kandung perempuan akan menerima pecahan separo harta warisan, dengan tiga syarat:
Ia tidak memiliki saudara kandung laki-laki.
Ia hanya seorang diri (tidak memiliki saudara perempuan).
Pewaris tidak memiliki ayah atau kakek, dan tidak pula memiliki keturunan, baik keturunan pria ataupun keturunan perempuan.
Dalilnya yaitu firman Allah berikut:
"Mereka meminta aliran kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi aliran kepadamu ihwal kalalah (yaituj: kalau seorang meninggal dunia, dan ia tidak memiliki anak dan memiliki saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)
5. Saudara perempuan seayah akan menerima pecahan separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
Apabila ia tidak memiliki saudara laki-laki.
Apabila ia hanya seorang diri.
Pewaris tidak memiliki saudara kandung perempuan.
Pewaris tidak memiliki ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak pria maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi janji ulama.
B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak menerima seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak menerima pecahan seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri memiliki anak atau cucu pria dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika istri-istrimu itu memiliki anak, maka kau menerima seperempat dari harta yang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri akan menerima pecahan seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak memiliki anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kau tinggalkan kalau kau tidak memiliki anak ..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- ihwal pecahan istri. Yang dimaksud dengan "istri menerima seperempat" yaitu bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap menerima seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, pecahan mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.
C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh pecahan seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami memiliki anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya yaitu firman Allah SWT:
"... Jika kau memiliki anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kau tinggalkan setelah dipenuh, wasiat yang kau buat atau (dan) setelah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)
D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak menerima pecahan dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
Dua orang cucu perempuan keturunan anak pria atau lebih.
Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat menyerupai berikut:
1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak memiliki saudara laki-laki, yakni anak pria dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan kalau anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui supaya tidak tersesat dalam memahami aturan yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan janji para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam pecahan sebelum ini.
Hadits tersebut sangat terang dan tegas memperlihatkan bahwa makna ayat itsnataini yaitu 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang beropini bahwa maksud ayat tersebut yaitu "anak perempuan lebih dari dua" terang tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak pria akan mendapatkan pecahan dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
Pewaris tidak memiliki anak kandung, baik pria atau perempuan.
Pewaris tidak memiliki dua orang anak kandung perempuan.
Dua cucu putri tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan menerima pecahan dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
Bila pewaris tidak memiliki anak (baik pria maupun perempuan), juga tidak memiliki ayah atau kakek.
Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak memiliki saudara pria sebagai 'ashabah.
Pewaris tidak memiliki anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya yaitu firman Allah:
"... tetapi kalau saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan menerima pecahan dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
Bila pewaris tidak memiliki anak, ayah, atau kakek.
Kedua saudara perempuan seayah itu tidak memiliki saudara pria seayah.
Pewaris tidak memiliki anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik pria maupun perempuan).
Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan pecahan dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik pria maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi kalau saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176) meliputi saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.
E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga pecahan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik pria ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan pecahan sepertiga dengan syarat:
Pewaris tidak memiliki anak atau cucu pria dari keturunan anak laki-laki.
Pewaris tidak memiliki dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya yaitu firman Allah:
"... dan kalau orang yang meninggal tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya menerima sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... kalau yang meninggal itu memiliki beberapa saudara, maka ibunya menerima seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh ikhwatun bila dipakai dalam faraid (ilmu ihwal waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang dipakai dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang memperlihatkan kebenaran hal ini yaitu firman Allah berikut:
"Jika kau berdua bertobat kepada Allah, maka sebetulnya hati kau berdua telah condong (untuk mendapatkan kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara pria dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan menerima pecahan sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
Bila pewaris tidak memiliki anak (baik pria ataupun perempuan), juga tidak memiliki ayah atau kakak.
Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Adapun dalilnya yaitu firman Allah:
"... Jika seseorang mati baik pria maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi memiliki seorang saudara pria (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi kalau saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)
Catatan
Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut yaitu 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan aturan yang berkaitan dengan saudara pria dan saudara perempuan sekandung dalam tamat surat an-Nisa'. Juga menjelaskan aturan yang berkaitan dengan pecahan saudara pria dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama setuju bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu yaitu saudara pria dan saudara perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni ihwal firman "fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu memperlihatkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara pria dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa pria harus memperoleh pecahan yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, pecahan saudara pria dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang pria maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan pecahan para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini pecahan saudara pria dua kali lipat pecahan saudara perempuan.
Masalah 'UmariyyatanA. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan pria dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya menyerupai berikut:
1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak memiliki keturunan, baik anak pria maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya yaitu firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) menerima separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak memiliki anak ..." (an-Nisa': 12)
2. Anak perempuan (kandung) menerima pecahan separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
Pewaris tidak memiliki anak pria (berarti anak perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki, penj.).
Apabila anak perempuan itu yaitu anak tunggal. Dalilnya yaitu firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia menerima separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak menerima pecahan setengah.
3. Cucu perempuan keturunan anak pria akan menerima pecahan separo, dengan tiga syarat:
Apabila ia tidak memiliki saudara pria (yakni cucu pria dari keturunan anak laki-laki).
Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak pria tersebut sebagai cucu tunggal).
Apabila pewaris tidak memiliki anak perempuan ataupun anak laki-laki.
Dalilnya sama saja dengan dalil pecahan anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak pria sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi auladikum", meliputi anak dan anak pria dari keturunan anak, dan hal ini telah menjadi janji para ulama.
4. Saudara kandung perempuan akan menerima pecahan separo harta warisan, dengan tiga syarat:
Ia tidak memiliki saudara kandung laki-laki.
Ia hanya seorang diri (tidak memiliki saudara perempuan).
Pewaris tidak memiliki ayah atau kakek, dan tidak pula memiliki keturunan, baik keturunan pria ataupun keturunan perempuan.
Dalilnya yaitu firman Allah berikut:
"Mereka meminta aliran kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi aliran kepadamu ihwal kalalah (yaituj: kalau seorang meninggal dunia, dan ia tidak memiliki anak dan memiliki saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)
5. Saudara perempuan seayah akan menerima pecahan separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:
Apabila ia tidak memiliki saudara laki-laki.
Apabila ia hanya seorang diri.
Pewaris tidak memiliki saudara kandung perempuan.
Pewaris tidak memiliki ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak pria maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi janji ulama.
B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak menerima seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak menerima pecahan seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri memiliki anak atau cucu pria dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika istri-istrimu itu memiliki anak, maka kau menerima seperempat dari harta yang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri akan menerima pecahan seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak memiliki anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kau tinggalkan kalau kau tidak memiliki anak ..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- ihwal pecahan istri. Yang dimaksud dengan "istri menerima seperempat" yaitu bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap menerima seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, pecahan mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.
C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh pecahan seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami memiliki anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya yaitu firman Allah SWT:
"... Jika kau memiliki anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kau tinggalkan setelah dipenuh, wasiat yang kau buat atau (dan) setelah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)
D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris yang berhak menerima pecahan dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
Dua orang cucu perempuan keturunan anak pria atau lebih.
Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat menyerupai berikut:
1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak memiliki saudara laki-laki, yakni anak pria dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan kalau anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui supaya tidak tersesat dalam memahami aturan yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan janji para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam pecahan sebelum ini.
Hadits tersebut sangat terang dan tegas memperlihatkan bahwa makna ayat itsnataini yaitu 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang beropini bahwa maksud ayat tersebut yaitu "anak perempuan lebih dari dua" terang tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak pria akan mendapatkan pecahan dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
Pewaris tidak memiliki anak kandung, baik pria atau perempuan.
Pewaris tidak memiliki dua orang anak kandung perempuan.
Dua cucu putri tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan menerima pecahan dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
Bila pewaris tidak memiliki anak (baik pria maupun perempuan), juga tidak memiliki ayah atau kakek.
Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak memiliki saudara pria sebagai 'ashabah.
Pewaris tidak memiliki anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya yaitu firman Allah:
"... tetapi kalau saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan menerima pecahan dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
Bila pewaris tidak memiliki anak, ayah, atau kakek.
Kedua saudara perempuan seayah itu tidak memiliki saudara pria seayah.
Pewaris tidak memiliki anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik pria maupun perempuan).
Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan pecahan dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik pria maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi kalau saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176) meliputi saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.
E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga pecahan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik pria ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan pecahan sepertiga dengan syarat:
Pewaris tidak memiliki anak atau cucu pria dari keturunan anak laki-laki.
Pewaris tidak memiliki dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya yaitu firman Allah:
"... dan kalau orang yang meninggal tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya menerima sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga firman-Nya:
"... kalau yang meninggal itu memiliki beberapa saudara, maka ibunya menerima seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh ikhwatun bila dipakai dalam faraid (ilmu ihwal waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang dipakai dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang memperlihatkan kebenaran hal ini yaitu firman Allah berikut:
"Jika kau berdua bertobat kepada Allah, maka sebetulnya hati kau berdua telah condong (untuk mendapatkan kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara pria dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan menerima pecahan sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
Bila pewaris tidak memiliki anak (baik pria ataupun perempuan), juga tidak memiliki ayah atau kakak.
Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Adapun dalilnya yaitu firman Allah:
"... Jika seseorang mati baik pria maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi memiliki seorang saudara pria (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi kalau saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)
Catatan
Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut yaitu 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan aturan yang berkaitan dengan saudara pria dan saudara perempuan sekandung dalam tamat surat an-Nisa'. Juga menjelaskan aturan yang berkaitan dengan pecahan saudara pria dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama setuju bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu yaitu saudara pria dan saudara perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni ihwal firman "fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu memperlihatkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara pria dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa pria harus memperoleh pecahan yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, pecahan saudara pria dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang pria maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan pecahan para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini pecahan saudara pria dua kali lipat pecahan saudara perempuan.
Pada asalnya, seorang ibu akan menerima pecahan sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman pecahan ayat (artinya) "jika orang yang meninggal tidak memiliki anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya menerima sepertiga".
Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan lantaran kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sobat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang cemerlang', lantaran kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam masalah ini, ibu hanya diberi sepertiga pecahan dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi pecahan suami atau istri. Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.
Contoh Pertama
Seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami menerima pecahan setengah (1/2) dari seluruh harta warisan yang ada. Ibu menerima sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil pecahan suami. Kemudian ayah menerima seluruh sisa yang ada. Untuk lebih terang lagi saya berikan tabelnya:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan | Jumlah Bagian | Nilai |
---|---|---|
Suami | 1/2 | |
Ibu | 1/3 dari sisa setelah dikurangi pecahan suami | |
Ayah | Seluruh sisa peninggalan sebagai 'ashabah |
Dalam teladan masalah ini ibu mendapatkan pecahan sepertiga dari sisa setelah diambil pecahan suami pewaris, lantaran bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada maka ia akan menerima pecahan dua kali lipat pecahan ayah. Hal ini tentunya bertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah ditegaskan dalam Al-Qur'an dalam pecahan ayat "lidzdz4ka4ri mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya untuk tetap menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu menerima pecahan sepertiga dari harta warisan setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipat dari pecahan yang diterima ibu.
Contoh Kedua
Seorang suami meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri menerima pecahan seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu menerima pecahan tiga per empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan pecahan ayah yaitu sisa harta yang ada sebagai 'ashabah.Pokok masalahnya dari 4
Keterangan | Jumlah Bagian | Nilai |
---|---|---|
Isteri | 1/4 | |
Ibu | 1/3 dari sisa setelah dikurangi pecahan isteri | |
Ayah | Mendapat pecahan seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai 'ashabah |
Dari kedua teladan tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya pecahan ibu pada tabel pertama yaitu seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua yaitu seperempat (1/4). Adapun penyebutannya dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri yaitu lantaran menyesuaikan budbahasa qur'ani.
Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a.. Dalam problem ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang lalu diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa pecahan ibu yaitu sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.
Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap menerima pecahan sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa pecahan ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bila ibu gotong royong mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".
Jadi, berdasarkan ekonomis saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.
Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a.. Dalam problem ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang lalu diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan menyatakan bahwa pecahan ibu yaitu sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.
Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap menerima pecahan sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa pecahan ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang ada bila ibu gotong royong mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".
Jadi, berdasarkan ekonomis saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta ditetapkan oleh Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.
F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak menerima pecahan seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka yaitu (1) ayah, (2) kakek orisinil (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara pria dan perempuan seibu.
1. Seorang ayah akan menerima pecahan seperenam (1/6) bila pewaris memiliki anak, baik anak pria atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, kalau yang meninggal itu memiliki anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan menerima pecahan seperenam (1/6) bila pewaris memiliki anak pria atau perempuan atau cucu pria dari keturunan anak --dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci dalam pecahan tersendiri.
3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) pecahan dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
Bila pewaris memiliki anak pria atau perempuan atau cucu pria keturunan anak laki-laki.
Bila pewaris memiliki dua orang saudara atau lebih, baik saudara pria ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"... kalau yang meninggal itu memiliki beberapa saudara, maka ibunya menerima seperenam ..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu perempuan dari keturunan anak pria seorang atau lebih akan menerima pecahan seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) memiliki satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut menerima pecahan setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak pria pewaris menerima seperenam (1/6), sebagai embel-embel dua per tiga (2/3). Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya ihwal problem warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa lalu menjawab: "Bagi anak perempuan menerima pecahan separo (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi pecahan saudara perempuan."
Merasa kurang puas dengan tanggapan Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan menetapkan menyerupai apa yang pernah diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak pria menerima pecahan seperenam (1/6) sebagai embel-embel 2/3, dan sisanya menjadi pecahan saudara perempuan pewaris."
Mendengar tanggapan Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."
Catatan
Cucu perempuan dari keturunan anak pria akan mendapatkan pecahan seperenam (1/6) dengan syarat bila pewaris tidak memiliki anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak memiliki anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab kalau lebih dari satu orang, bawah umur perempuan itu berhak menerima pecahan dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan anak pria pewaris.
5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan menerima pecahan seperenam (1/6), apabila pewaris memiliki seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama denga keadaan kalau cucu perempuan keturunan anak pria bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah menerima pecahan seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab saat saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
6. Saudara pria atau perempuan seibu akan menerima pecahan masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya yaitu firman Allah (artinya) "jika seseorang mati baik pria maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi memiliki seorang saudara pria (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta". Dan persyaratannya yaitu bila pewaris tidak memiliki pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik pria atau perempuan).
7. Nenek orisinil mendapatkan pecahan seperenam (1/6) saat pewaris tidak lagi memiliki ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang terang seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek tiba kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah sampai saya menanyakannya kepada para sobat Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah menyampaikan kepada Abu Bakar: "Suatu saat saya pernah menjumpai Rasulullah saw. memperlihatkan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar lalu memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.
Adapun asbhabul furudh yang berhak menerima pecahan seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka yaitu (1) ayah, (2) kakek orisinil (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara pria dan perempuan seibu.
1. Seorang ayah akan menerima pecahan seperenam (1/6) bila pewaris memiliki anak, baik anak pria atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, kalau yang meninggal itu memiliki anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan menerima pecahan seperenam (1/6) bila pewaris memiliki anak pria atau perempuan atau cucu pria dari keturunan anak --dengan syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci dalam pecahan tersendiri.
3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) pecahan dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
Bila pewaris memiliki anak pria atau perempuan atau cucu pria keturunan anak laki-laki.
Bila pewaris memiliki dua orang saudara atau lebih, baik saudara pria ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"... kalau yang meninggal itu memiliki beberapa saudara, maka ibunya menerima seperenam ..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu perempuan dari keturunan anak pria seorang atau lebih akan menerima pecahan seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) memiliki satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut menerima pecahan setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak pria pewaris menerima seperenam (1/6), sebagai embel-embel dua per tiga (2/3). Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya ihwal problem warisan seseorang yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa lalu menjawab: "Bagi anak perempuan menerima pecahan separo (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi pecahan saudara perempuan."
Merasa kurang puas dengan tanggapan Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan menetapkan menyerupai apa yang pernah diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris, dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak pria menerima pecahan seperenam (1/6) sebagai embel-embel 2/3, dan sisanya menjadi pecahan saudara perempuan pewaris."
Mendengar tanggapan Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."
Catatan
Cucu perempuan dari keturunan anak pria akan mendapatkan pecahan seperenam (1/6) dengan syarat bila pewaris tidak memiliki anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki, maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak memiliki anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab kalau lebih dari satu orang, bawah umur perempuan itu berhak menerima pecahan dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan anak pria pewaris.
5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan menerima pecahan seperenam (1/6), apabila pewaris memiliki seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama denga keadaan kalau cucu perempuan keturunan anak pria bersamaan dengan adanya anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan seayah menerima pecahan seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3). Sebab saat saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
6. Saudara pria atau perempuan seibu akan menerima pecahan masing-masing seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya yaitu firman Allah (artinya) "jika seseorang mati baik pria maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi memiliki seorang saudara pria (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta". Dan persyaratannya yaitu bila pewaris tidak memiliki pokok (yakni kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik pria atau perempuan).
7. Nenek orisinil mendapatkan pecahan seperenam (1/6) saat pewaris tidak lagi memiliki ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun ibu), yang terang seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek tiba kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka pulanglah dulu, dan tunggulah sampai saya menanyakannya kepada para sobat Rasulullah saw." Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah menyampaikan kepada Abu Bakar: "Suatu saat saya pernah menjumpai Rasulullah saw. memperlihatkan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan al-Mughirah itu Abu Bakar lalu memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6). Wallahu a'lam.
Pembagian Waris Menurut Islam
oleh Muhammad Ali ash-Shabuni
penerjemah A.M.Basamalah
Gema Insani Press, 1995
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
ISBN 979-561-321-9
oleh Muhammad Ali ash-Shabuni
penerjemah A.M.Basamalah
Gema Insani Press, 1995
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
ISBN 979-561-321-9
Please inform me if this article/posting is breaking copyright or etc.