Wednesday, February 7, 2018

√ Ilmu Waris - Belahan I (Ayat-Ayat Waris)

A. Penjelasan
Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'-- menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap jago waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap jago waris, kapan ia mendapatkan bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia menerimanya secara 'ashabah.

Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh alasannya yaitu itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih gampang mengetahui cuilan setiap jago waris, sekaligus mengenali pesan tersirat Allah Yang Maha Bijaksana itu.

Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap jago waris. Bahkan dengan aturan yang sangat terang dan tepat Dia memilih pembagian hak setiap jago waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.

Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid mempunyai martabat yang sangat agung, sampai kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya saya seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna sampai akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang sanggup menuntaskan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)

Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sobat wacana masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan insan (terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."1

Perlu kita ketahui bahwa semua kitab wacana waris yang disusun dan ditulis oleh para ulama merupakan klarifikasi dan klasifikasi dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni klasifikasi kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam memutuskan aturan dan syariat-Nya.

Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?

Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi wacana besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya yaitu firman Allah berikut:

"Bagi pria ada hak cuilan dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak cuilan (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak berdasarkan cuilan yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kau mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)

Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.

Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan cuilan dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.

Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., menyerupai kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus sampai Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah insiden penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) aturan pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan aturan pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.

Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis insan lemah, yakni perempuan dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memperlihatkan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, pria ataupun wanita. Juga tanpa membedakan cuilan mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang niscaya hak waris telah Allah memutuskan bagi kerabat pewaris lantaran hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).

Masih wacana kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa cuilan kaum pria dua kali lipat cuilan kaum wanita, padahal kaum perempuan jauh lebih banyak membutuhkannya, lantaran di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan derma baik moril maupun materiil?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa pesan tersirat adanya syariat yang telah Allah memutuskan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:

Kaum perempuan selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum perempuan wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang bisa di antara kaum pria kerabatnya.

Kaum perempuan tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.

Nafkah (pengeluaran) kaum pria jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum pria untuk mendapatkan dan mempunyai harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.

Kaum pria diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan daerah tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.

Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jikalau anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada bahu kaum laki-laki. Sementara kaum perempuan tidaklah demikian.

Itulah beberapa pesan tersirat dari sekian banyak pesan tersirat yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum pria --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak lantaran rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang mempunyai tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan cuilan yang lebih besar pula. Kendatipun aturan Islam telah memutuskan bahwa cuilan kaum pria dua kali lipat lebih besar daripada cuilan kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum perempuan dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memperlihatkan hak waris kepada kaum perempuan melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara terang bahwa kaum perempuan justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih yummy dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum perempuan sama-sama mendapatkan hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum perempuan berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.

Syariat Islam tidak mewajibkan kaum perempuan untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun perempuan tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)

Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu pola masalah supaya pesan tersirat Allah dalam memutuskan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih terang dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah wacana pembagian hak kaum pria yang banyaknya dua kali lipat dari cuilan kaum wanita.

Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu pria dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, contohnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, berdasarkan ketetapan syariat Islam, pria mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.

Apabila anak pria tersebut telah cukup umur dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta ijab kabul itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.

Adapun anak perempuan, apabila ia telah cukup umur dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah mempunyai uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia mempunyai harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak pria habis.

Dalam keadaan menyerupai ini manakah di antara kaum pria dan kaum perempuan yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah budi keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak pria dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.

1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.

B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam
Sebelum Islam datang, kaum perempuan sama sekali tidak mempunyai hak untuk mendapatkan warisan dari peninggalan pewaris (orang bau tanah ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum perempuan tidak sanggup ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana mungkin kami memperlihatkan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak bisa memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan kaum perempuan mendapatkan harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada belum dewasa kecil.

Sangat terang bagi kita bahwa sebelum Islam tiba bangsa Arab memperlakukan kaum perempuan secara zalim. Mereka tidak memperlihatkan hak waris kepada kaum perempuan dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam tiba ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan yang tidak sanggup diubah.

Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat wacana waris-- kalangan bangsa Arab pada ketika itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja aturan yang tercantum dalam ayat tersebut sanggup dihapus (mansukh). Sebab berdasarkan anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum perempuan dan belum dewasa sangat bertentangan dengan kebiasaan dan budbahasa yang telah usang mereka amalkan sebagai aliran dari nenek moyang.

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah cerita yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang memutuskan wacana warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan biar memperlihatkan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat cuilan kepada kaum perempuan (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah cuilan harta peninggalan? Juga haruskah memperlihatkan warisan kepada belum dewasa ingusan? Padahal mereka tidak ada yang sanggup memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula sanggup andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan aturan tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada dia biar berkenan untuk mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memperlihatkan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak sanggup memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memperlihatkan hak waris kepada belum dewasa perempuan kami, padahal mereka tidak sanggup menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'"

Inilah salah satu bentuk positif aliran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah bisa melepaskan kaum perempuan dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memperlihatkan hak waris kepada kaum perempuan yang sebelumnya tidak mempunyai hak menyerupai itu, bahkan telah memutuskan mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah memutuskan cuilan warisannya). Kendatipun demikian, cukup umur ini masih saja kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum perempuan dalam hal hak waris, lantaran hanya memperlihatkan separo dari hak kaum laki-laki.

Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum perempuan wacana hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum perempuan dengan cara menyamakan hak kaum perempuan dengan hak kaum pria dalam hal penerimaan warisan.

Mereka yang mempunyai anggapan demikian sama halnya menghasut kaum perempuan biar mereka menjadi badung dan pemberontak dengan menolak aliran dan aturan aturan dalam syariat Islam. Sehingga pada risikonya kaum perempuan akan menuntut persamaan hak penerimaan warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki.

Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna penalaran ialah bahwa mereka yang berpura-pura prihatin wacana hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri sangat bakhil terhadap kaum perempuan dalam hal memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum perempuan untuk bekerja demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di daerah hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya.

Corak pemikiran menyerupai ini sanggup dipastikan merupakan hembusan dari Barat yang banyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur menyerupai itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka memandang kaum perempuan tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam memperlihatkan nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan perempuan untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan seizin kaum pria (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan kaum perempuan bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah positif demikian, mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan membekukan hak wanita.

C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan wacana alasannya yaitu turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' tiba menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini yaitu anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan kasus ini." Maka turunlah ayat wacana waris yaitu (an-Nisa': 11).

Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya biar memperlihatkan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat cuilan seperdelapan, dan sisanya menjadi cuilan saudara kandung Sa'ad.

Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum pria dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) kemudian mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai balasan duduk kasus itu.

Masih ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan wacana alasannya yaitu turunnya ayat waris ini. Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai klarifikasi dan ketetapan Allah disebabkan pada waktu itu kaum perempuan tidak mendapat cuilan harta warisan.

D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris
Pertama:
Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan cuilan dua orang anak perempuan," memperlihatkan hukum-hukum sebagai berikut:

Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak pria dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak pria mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.

Apabila jago waris berjumlah banyak, terdiri dari anak pria dan anak perempuan, maka cuilan untuk pria dua kali lipat cuilan anak perempuan.

Apabila bersama anak (sebagai jago waris) ada juga ashhabul furudh, menyerupai suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu yaitu ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak pria dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.

Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman menyerupai ini sanggup diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa cuilan pria yaitu dua kali lipat cuilan anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu sanggup ditarik kesimpulan bahwa bila jago waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.

Adapun cuilan keturunan dari anak pria (cucu pewaris), jumlah cuilan mereka sama menyerupai anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu wacana (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", meliputi keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.

Kedua:
Hukum cuilan kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jikalau yang meninggal itu mempunyai anak; jikalau orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jikalau yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam." Penggalan ayat ini memperlihatkan hukum-hukum sebagai berikut:

Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam cuilan apabila yang meninggal mempunyai keturunan.

Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat cuilan sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi cuilan ayah. Hal ini sanggup dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan cuilan ibu, yaitu sepertiga, sedangkan cuilan ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan cuilan ayah.

Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat cuilan harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan aturan waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika contohnya muncul pertanyaan apa pesan tersirat dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jikalau ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, pesan tersirat adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam ijab kabul mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak mempunyai kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.

Ketiga:
Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sehabis dibayar utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melakukan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan Rasulullah saw..

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah memutuskan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal, kemudian barulah melakukan wasiatnya."

Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melakukan wasiat yaitu lantaran utang merupakan keharusan yang tetap ada pada bahu orang yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun sehabis mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para jago warisnya.

Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, biar insan tidak melecehkan wasiat dan jiwa insan tidak menjadi kikir (khususnya para jago waris), maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya.

Keempat:
Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kau tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih erat (banyak) keuntungannya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas memberi arahan bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, lantaran bagaimanapun bentuk perjuangan insan untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan bisa melaksanakannya secara sempurna. Bahkan tidak akan sanggup merealisasikan pembagian yang adil menyerupai yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.

Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang bau tanah dan anak yang lebih erat atau lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya niscaya adil. Bila demikian, siapakah yang sanggup menciptakan aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat insan dan kemanusiaan selain Allah?

Kelima:
Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jikalau mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kau mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sehabis dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sehabis dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kau tinggalkan jikalau kau tidak mempunyai anak. Jika kau mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kau tinggalkan sehabis dipenuhi wasiat yang kau buat atau (dan) sehabis dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan wacana aturan waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara pembagian.

Bagian suami:
Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat cuilan separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.

Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat cuilan seperempat dari harta yang ditinggalkan.

Bagian istri:
Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka cuilan istri yaitu seperempat.

Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat cuilan seperdelapan.

Keenam:
Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara pria atau saudara perempuan seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik pria maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara pria (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jikalau saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sehabis dipenuhi wasiat yang dibentuk olehnya atau sehabis dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada jago waris). "

Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) yaitu saudara pria atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak meliputi saudara kandung dan tidak pula saudara pria atau saudara perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.

Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- wacana hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada tamat surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara rata.

Sementara itu, ayat tamat surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jikalau sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat cuilan dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat tamat surat an-Nisa' untuk meniadakan kontradiksi antara dua ayat.

Sementara itu, lantaran saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih erat --dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah memutuskan cuilan keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, sanggup dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) yaitu 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam tamat surat an-Nisa' mempunyai pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.

Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara pria seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka cuilan yang diperolehnya yaitu seperenam.

Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua per tiga cuilan dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab] memperlihatkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara pria mendapat cuilan yang sama dengan cuilan saudara perempuan.

Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa mempunyai ayah ataupun keturunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini contohnya dipakai dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.

Ulama setuju (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka lantaran dariku dan dari setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah yaitu orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak. "

Ketujuh:
Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibentuk olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada jago waris)". Ayat tersebut memperlihatkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud berdampak negatif, contohnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang sanggup mengakibatkan mudarat (berdampak negatif) pada jago waris tidak wajib dilaksanakan.

Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan wacana cuilan saudara kandung atau saudara seayah.

Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka jago waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.

Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka cuilan jago waris yaitu dua per tiga dibagi secara rata.

Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung pria dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi jago waris yang pria mendapatkan dua kali cuilan saudara perempuan.

Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi cuilan saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah aturan bagi saudara seayah, jikalau ternyata tidak ada saudara pria yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.


Pembagian Waris Menurut Islam
oleh Muhammad Ali ash-Shabuni
penerjemah A.M.Basamalah
Gema Insani Press, 1995
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
ISBN 979-561-321-9

Please inform me if this article/posting is breaking copyright or etc.

Sumber http://farihinmuhamad.blogspot.com