Pembagian kekuasaan ialah salah satu konsep pengelolaan pemerintahan. Pembagian kekuasaan ini (legislatif, eksekutif, yudikatif) merupakan upaya mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan pada satu orang atau forum tertentu. Karena jikalau terjadi pemusatan kekuasaan maka pemerintahan dapat saja berjalan secara adikara dan otoriter atau terjadi abuse of power. Adanya pembagian kekuasaan dengan tetap ada koordinasi antar bab maka terjadi kontrol dan keseimbangan diantara forum pemegang kekuasaan.
Dalam pengelolaan sistem pemerintahan selain pembagian kekuasaan (divisions of power) dikenal juga istilah pemisahan kekuasaan (separation of power). Pemisahan kekuasaan berarti kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai organ maupun fungsinya. Dengan kata lain, forum pemegang kekuasaan negara yang mencakup forum legislatif, eksekutif, dan yudikatif merupakan forum yang terpisah satu sama lainnya, berdiri sendiri tanpa memerlukan koordinasi dan kerja sama. Setiap forum menjalankan fungsinya masing-masing.
Sementara dalam konsep pembagian kekuasaan, kekuasaan dibagi dalam beberapa bab (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Dan di antara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerja sama. Pembagian kekuasaan ibarat ini dilakukan oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
Mekanisme pembagian kekuasaan di Indonesia diatur sepenuhnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penerapan pembagian kekuasaan terdiri dari pembagian kekuasaan secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal.
Pembagian Kekuasaan Secara Horizontal
Pembagian kekuasaan pada pemerintahan pusat mengalami pergeseran sehabis terjadinya Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pergeseran yang dimaksud ialah pergeseran pembagian terstruktur mengenai kekuasaan negara yang umumnya terdiri atas 3 jenis kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) menjadi 6 jenis kekuasaan:
1. Kekuasaan konstitutif (MPR)
kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang yang dimiliki oleh MPR. Hal ini diatur pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 45 yang menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”
2. Kekuasaan direktur (Presiden)
Kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan penyelenggraan pemerintahan negara. Ini tertuan pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar.”
3. Kekuasaan legislatif (DPR)
Kekuasaan untuk membentuk undang-undang, sesuai pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”
4. Kekuasaan yudikatif (MA dan MK)
Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tubuh peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata perjuangan negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
5. Kekuasaan eksaminatif/inspektif (BPK)
Kekuasaan yang berafiliasi dengan penyelenggaraan investigasi atas pengelolaan dan tanggung jawab ihwal keuangan negara. Pasal 23 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “untuk mengusut pengelolaan dan tanggung jawab ihwal keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.”
6. Kekuasaan moneter (BI)
Kekuasaan untuk menetapkan dan melakukan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta memelihara kestabilan nilai rupiah. Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral di Indonesia. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945: “negara mempunyai suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dalam undang-undang.”
Pembagian kekuasaan secara horisontal pada tingkatan pemerintahan tempat berlangsung antara lembaga-lembaga tempat yang sederajat, yaitu antara Pemda (Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada tingkat provinsi, pembagian kekuasaan berlangsung antara Pemerintah provinsi (Gubernur/Wakil Gubernur) dan DPRD provinsi. Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota, pembagian kekuasaan berlangsung antara Pemerintah Kabupaten/Kota (Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota) dan DPRD kabupaten/kota.
Pembagian Kekuasaan Secara Vertikal
Pembagian kekuasaan secara vertikal sesuai Pasal 18 (1) Undang-Undang Dasar 1945: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan tempat provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, pembagian kekuasaan secara vertikal di negara Indonesia berlangsung antara pemerintahan pusat dan pemerintahan tempat (pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota). Pada pemerintahan tempat berlangsung pula pembagian kekuasaan secara vertikal yang ditentukan oleh pemerintahan pusat. Hubungan antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota terjalin dengan koordinasi, training dan pengawasan oleh pemerintahan pusat dalam bidang manajemen dan kewilayahan.
Pembagian kekuasaan secara vertikal merupakan konsekuensi diterapkannya asas desentralisasi. Dengan asas tersebut, pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada pemerintah tempat otonom (provinsi dan kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan di daerahnya. Kecuali kewenangan yang berkaitan dengan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan fiskal. Pasal 18(5) Undang-Undang Dasar 1945: “Pemerintah tempat menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.
Lampiran (Pdf):
____________________
By Emris Abe
Artikel Lain: