Meningkatkan kualitas pendidikan melalui Manajemen Peningkatan Mutu ( MPM)
Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam pembentukan sumber daya insan yang berperan sangat penting bagi pembangunan nasional. Tujuan utama pendidikan yaitu adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membuatkan insan indonesia seutuhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berbudi luhur,memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan berdikari serta punya rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (USPN: 1989). Berbagai upaya telah dilakukan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan tersebut. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat paling strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan, tapi pada kenyataannya masih ada hambatan yang dihadapi sehingga upaya peningkatan kualitas pendidikan menjadi tidak optimal.Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) merupakan suatu metode atau cara yang mengacu pada konsep Total Quality Management (TQM) yang didalamnya meliputi School Review,Benchmarking,Quality Assurance dan Quality control.
1.School Review merupakan suatu cara dimana sekolah bekerjasama dengan aneka macam pihak terkait. School review sanggup dilakukan melalui analisis SWOT dalam bentuk matrik Ansoff yaitu: Strength yaitu kekuatan Sekolah, Weakness yaitu mencari tahu kelemahan sekolah, Opportunities yaitu memakai Kesempatan dan peluang yang bisa dicapai dengan sebaik baiknya, Threats yaitu mengetahui bahaya dan hambatan yang dihadapi sekolah.
2.Benchmarking yaitu pencapaian suatu standar sesuai dengan yang telah ditetapkan atau disepakati dalam periode tertentu untuk jangka panjang atau pendek.
3.Quality Assurance yaitu semacam penjaminan dari pihak sekolah terhadap pihak luar orang bau tanah dan masyarakat yang meyakinkan bahwa pihak sekolah akan selalu mengupayakan untuk sanggup memberi pelayanan sebaik mungkin bagi siswanya.
4.Quality Control merupakan sistim pengawasan dini untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan semoga kualitas yang dihasilkan sanggup sesuai dengan standar yang telah di tetapkan.
Melalui penerapan sistim Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) diharapkan upaya peningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia sanggup tercapai sesuai impian kita semua :)
PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Indonesiamerupakan salah satu negara berkembang yang masih mengalami aneka macam proses pembangunan. Dalam bidang pendidikan, Indonesia masih kurang membuatkan SDM yang dimiliki masyarakat. dalam sebuah survei mutu pendidikan, Indonesia menempati urutan ketiga dari bawah di antara 40 negara lain.
Sistem pendidikan di Indonesia selalu diadaptasi dengan kondisi politik dan birokrasi yang ada. Padahal itu bukanlah persoalan utama dalam meningkatkan mutu pendidikan. Yang lebih penting yaitu bagaimana pelaksanaan di lapangan, termasuk kurangnya pemerataan pendidikan, terutama di kawasan tertinggal. Dan lebih mengutamakan pendidikan di kawasan perkotaan. Dengan pelaksanaan Ujian nasional yang menjadikan standar nilai di setiap kawasan sama. Padahal tidak semua kawasan di indonesia memperoleh akomodasi dan metode mencar ilmu sama dengan yang ada di kawasan perkotaan.
Fenomena yang ada di Indonesia cukup ironis. Banyaknya lulusan sekolah tingkat menengah dan akademi tinggi setiap tahunnya, tidak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Hal itu terperinci menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Bahkan angka pengangguran mencapai 9,5%
per tahun.
Untuk menuju pemerataan pendidikan yang efektif dan menyeluruh, kita perlu mengetahui beberapa permasalahan fundamental yang dihadapi sektor pendidikan kita. Permasalahan itu antara lain mengenai keterbatasan daya tampung, sarana prasarana, kurangnya tenaga pengajar, proses pembelajaran konvensional, dan keterbatasan dana atau aggaran.
Keterbatasan daya tampung sangat kuat dalam proses pemerataan pendidikan. Banyak sekolah yang mempunyai daya tampung tidak berimbang dengan jumlah murid yang diterima dikala penerimaan murid baru. Akibatnya, proses mencar ilmu mengajar pun menjadi kurang maksimal. Di Indonesia, kuota siswa dalam satu kelas masih terlalu banyak. Negara-negara maju di Austaralia hanya mendidik sekitar 20 siswa dalam satu kelas. Jika kita bandingkan, berarti kuota siswa di Indonesia dalam sekelas yaitu dua kali lipat dibanding Australia. Itulah salah satu faktor yang mengakibatkan tidak maksimalnya proses belajar-mengajar.
Sebenarnya hal itu masih berkaitan dengan jumlah tenaga pengajar yang ada. Sekolah yang ada di beberapa kawasan yang masih tertinggal mempunyai persoalan dengan keterbatasan tenaga pengajar. Kurang optimalnya pelaksanaan sistem pendidikan di lapangan disebabkan sulitnya menyediakan guru-guru berkualitas untuk mengajar di daerah-daerah.
Daya tampung yang tersedia di Indonesia hanya mencapai separuh dari jumlah siswa yang ada.
Dengan adanya ketimpangan ini maka secara otomatis akan menjadi problem tingginya angka anak yang putus sekolah.
Untuk meminimalisasi keterbatasan daya tampung, kita sanggup merealisasikan beberapa solusi yang ada. Peran sekolah swasta dan sekolah terbuka cukup signifikan mengingat makin tingginya jumlah siswa tiap tahun. Selain itu, kita sanggup meningkatkan jadwal e-learning. Metode mengajar ini sanggup diterapkan bagi bawah umur yang mempunyai kemapuan intelektual dan ekonomi di atas rata-rata. Dengan e-learning maka kebutuhan akan ketersediaan kelas akan terkurangi.
Selain persoalan itu, minimalnya sarana prasarana yang ada juga cukup berpengaruh. Pemerataan pendidikan, terutama di kawasan tertinggal, sangat memerlukan adanya peningkatan di bidang sarana prasarana. Padahal Sarana dan prasarana ini sangat vital peranannya dalam proses mencar ilmu mengajar. Terbatasnya akomodasi untuk pembelajaran ini berkaitan dengan dana yang disediakan pemerintah.
Di tahun 2008 ini, pemerintah telah menyisihkan sekitar 20% dana APBN untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerataan pendidikan hingga daerah-daerah tertinggal tentu membutuhkan anggaran dana yang tidak sedikit. Dana BOS yang disediakan oleh pemerintah merupakan bentuk perhatian pemerintah akan pentingnya pemerataan pendidikan bagi setiap orang. Meskipun belum sanggup terealisasikan sepenuhnya, akan tetapi hal itu sudah cukup meminimalisasi biaya yang dikeluarkan masyarakat terutama yang berekonomi menengah ke bawah. Kurang sadarnya beberapa oknum pengajar yang menciptakan dana BOS dari pemerintah ini kurang optimal.
Pemerataan pendidikan memang tak bisa direalisasikan tanpa adanya kolaborasi aneka macam pihak, baik pemerintah maupun masyarakat yang bersangkutan.
Untuk meminimalisasi keterbatasan daya tampung, kita sanggup merealisasikan beberapa solusi yang ada. Peran sekolah swasta dan sekolah terbuka cukup signifikan mengingat makin tingginya jumlah siswa tiap tahun. Selain itu, kita sanggup meningkatkan jadwal e-learning. Metode mengajar ini sanggup diterapkan bagi bawah umur yang mempunyai kemapuan intelektual dan ekonomi di atas rata-rata. Dengan e-learning maka kebutuhan akan ketersediaan kelas akan terkurangi.
Selain persoalan itu, minimalnya sarana prasarana yang ada juga cukup berpengaruh. Pemerataan pendidikan, terutama di kawasan tertinggal, sangat memerlukan adanya peningkatan di bidang sarana prasarana. Padahal Sarana dan prasarana ini sangat vital peranannya dalam proses mencar ilmu mengajar. Terbatasnya akomodasi untuk pembelajaran ini berkaitan dengan dana yang disediakan pemerintah.
Di tahun 2008 ini, pemerintah telah menyisihkan sekitar 20% dana APBN untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerataan pendidikan hingga daerah-daerah tertinggal tentu membutuhkan anggaran dana yang tidak sedikit. Dana BOS yang disediakan oleh pemerintah merupakan bentuk perhatian pemerintah akan pentingnya pemerataan pendidikan bagi setiap orang. Meskipun belum sanggup terealisasikan sepenuhnya, akan tetapi hal itu sudah cukup meminimalisasi biaya yang dikeluarkan masyarakat terutama yang berekonomi menengah ke bawah. Kurang sadarnya beberapa oknum pengajar yang menciptakan dana BOS dari pemerintah ini kurang optimal.
Pemerataan pendidikan memang tak bisa direalisasikan tanpa adanya kolaborasi aneka macam pihak, baik pemerintah maupun masyarakat yang bersangkutan.
Relevansi Pendidikan dan Tantangan Globalisasi
Pentingnya daya saing SDM di tingkat Internasional telah mendorong para pengambil kebijakan pendidikan membuatkan konsep ”Link and Match” sebagaimana yang di gagas oleh Menteri Menteri P dan K (Wardiman Djojonegoro, 1993-1998), Hal ini terus dikembangkan hingga lahirnya kurikulum berbasis kompetensi (Tahun 2000) dan kebijakan Mendiknas ihwal standar kompetensi lulusan (Tahun 2006) yang mana didalamnya meliputi kesiapan siswa memasuki dunia kerja. Menyadari pentingnya keselarasan antara pendidikan dengan tuntutan dunia industri (lapangan kerja) telah membentuk mindset di sebagian kalangan penyelenggara pendidikan bahwa ”Link and Match” merupakan suatu hal yang ”wajib”. Selanjutnya, salah satu indikator keberhasilan pendidikan bertaraf Internasional dipahami oleh sebagian penyelenggara RSBI / SBI bila siswanya bisa berprestasi dalam lomba olimpiade sain dan teknologi di tingkat Internasional. Konsekuensi logis dari hal tersebut, maka pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan di fokuskan untuk membentuk insan yang siap kerja, dan bisa berprestasi dalam olimpiade di tingkat internasional. Mata pelajaran yang kurang mendukung hal tersebut akan dikesampingkan.
Jika memang demikian adanya, dimana mutu dan relevansi pendidikan ditentukan dengan indikator tuntutan dunia industri (lapangan kerja) dan keberhasilan olimpiade sain dan teknologi di tingkat internasional, ini merupakan suatu tindakan ”Inkonsisten” dari tujuan dan hakikat pendidikan sebagaimana tertuang dalam U.U No. 20 tahun 2003 ihwal Sisdiknas. Sejatinya, Asumsi yang dipakai untuk membangun sistem Pendidikan Nasional bertaraf Internasional atau pendidikan yang sanggup meningkatkan daya saing bangsa, sebagai langkah awal bukannya melihat ke luar (outward looking), tetapi yang mula-mula dilakukan yaitu memperbaiki kualitas pendidikan dan mengarahkan pendidikan untuk bisa memperlihatkan kontribusi positif terhadap penyelesaian masalah-masalah kontrit yang dihadapi bangsa dan negara dalam rangka merampungkan kemiskinan, pengangguran, dan krisis moral (KKN), serta memberdayakan sumber daya alam.
Dengan demikian, maka Indonesia mempunyai impian besar untuk berdiri dari aneka macam ketertinggalan. Dan dunia internasinal akan menilai bahwa negara kita mempunyai SDM yang berkualitas sehingga bisa meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa. Inilah yang semestinya di apresiasi sebagai pendidikan bertaraf internasional yang mempunyai daya saing, bukan sebatas kompetensi individu memasuki dunia kerja, atau daya saing dalam bentuk kompetensi di bidang sain dan teknologi dalam olimpiade tingkat internasional.
Relevansi Pendidikan dalam Perspektif Ekonomi.
Pendidikan dalam konteks kemanfaatan, mutu pendidikan harus dikaitkan dengan warta relevansi pendidikan. Sehingga sistem pendidikan dianggap relevan bila mempunyai keseimbangan dengan sistem ekonomi dan ketenagakerjaan. Artinya bahwa lulusan pendidikan mempunyai kesesuaian dengan kebutuhan ekonomi akan pekerja sebagai pelaku pembangunan diberbagai sektor. Untuk itu pemerintah melaksanakan ekspansi dan pemerataan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat ditempatkan pada prioritas tertinggi dalam pembangunan pendidikan. Mutu dan relevansi pendidikan tercermin dari kemampuan membentuk kecakapan (competencies) lulusan semoga sanggup menjadi pekerja produktif dengan upah yang lebih tinggi. Sebagaimana banyak dibicarakan sebagian kalangan ihwal competence-based pay, competence-based performance appraisal, competence-based people development. Dalam bidang pendidikanpun di Indonesia telah diperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) semenjak tahun 2000.
Pendidikan berbasis kompetensi dalam perspektif ekonomi yang merupakan cara pandang penyelenggara pendidikan remaja ini, secara aktual beralih fungsi menjadi mesin pencetak tenaga kerja baik pada skala lokal, Nasional, dan Internasional. Pendidikan perspektif ekonomi cenderung melahirkan SDM-SDM yang berorientasi individualis (untuk eksistensi diri dalam kehidupan), materialis (kepuasan menikmati materi) dan liberalis (menganut kebebasan dalam berperilaku, berpendapat, kepemilikan dan berkeyakinan). Pada jadinya akan membentuk generasi yang tidak memberi kontribusi positif bagi pembangunan skala bangsa yang menghantarkan kemandirian bangsa di dunia Internsional. Dengan kata lain pendidikan perspektif ekonomi akan membentuk generasi-generasi yang senantiasa mempertahankan ketergantungan bangsa ini terhadap negara-negara maju, selama kepentingan individu dan komunitasnya tidak terganggu. Bagaimana mungkin bangsa ini akan bisa bersaing secara berimbang apalagi menduduki posisi yang unggul dengan negara-negara maju.
Kebijakan pendidikan yang dilatari oleh horizon berpikir sempit ibarat ini, dimana tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan simpel sesaat, berpotensi melahirkan proses dehumanisasi pada diri peserta didik. Pendidikan yang terlalu memfokus pada upaya mencetak tenaga-tenaga terampil yang dibutuhkan dunia industri dan melupakan tujuan-tujuan pendidikan yang lain, akan melahirkan robot-robot berbaju manusia. Implikasi dari kebijakan-kebijakan pendidikan semacam itu telah usang kita rasakan. Misalkan, rendahnya moralitas, rendahnya sikap toleransi, rendahnya sikap menghargai sesama, lemahnya mental enterpreuner, rendahnya mental team-work, minimnya jiwa kepemimpinan dan lain-lain.
Relevansi Pendidikan melalui Life skill dan Learn how to learn.
Percepatan penemuan yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut manusia-manusia pembelajar yang terus mau dan bisa meng-upgrade diri. Ini berarti forum pendidikan harus juga bisa mendorong dan membuatkan kemampuan mencar ilmu peserta didiknya. Untuk itu Lembaga pendidikan harus memberi keterampilan “learn how to learn”. Pendidikan yang mengabaikan learn how to learn akan menghasilkan generasi-generasi yang gagap terhadap aneka perubahan yang terjadi di kurun global ini. Barangkali, generasi hasil jadwal link and match akan memperlihatkan kinerja yang memuaskan dikala mereka gres memasuki dunia industri/kerja. Namun, ketika perusahaan harus memakai instrumen-nstrumen baru, ini berarti menuntut para pekerjanya untuk mempelajari hal-hal gres pula, maka umumnya performance dari generasi ini akan mengecewakan. Karena mereka kurang mempunyai keterampilan untuk mempelajari hal-hal baru. Dengan demikian, jadwal link and match yang dilakukan secara gegabah akan mempersempit ruang kerja alumninya.
Menyadari bahwa kebijakan pendidikan yang ‘hanya’ bertujuan mencetak robot-robot pekerja merupakan malapraktek dalam dunia pendidikan. Maka, Lembaga Pendidikan Citra Buana Indonesia telah mengimplementasikan sistem pendidikan berbasis life skill dan pengembangan learn how to learn. Warga mencar ilmu dibekali dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia usaha, juga membekali siswa dengan aneka macam life skill dan nilai-nilai hidup dengan jiwa entrepeneur supaya mereka bisa survive di jaman global ini.
Life skill yang dikembangkan meliputi 9 (sembilaan) dimensi yaitu : (1) communication skills, (2) numeracy skills, (3) information skills, (4) problem solving skills, (5) self management and competitive skills, (6) social dan co-operation skills, (7) physical skills dan (8) work and study skills, serta (9) attitude and values, sebagaimana yang dikembangkan Dalin dan Rust. Ke sembilan aspek life skill ini terintegrasi dalam kurikulum program studi Informatika, Perhotelan & Pariwisata, dan Bahasa Asing. Seperti halnya aspek ‘attitude and values’ bukan hanya menjadi tanggungjawab staff pengajar agama, moral profesi dan kewarganegaraan saja, tetapi merupakan tanggung jawab semua staff pengajar, sehingga nilai selesai yang diberikan kepada siswa didalamnya sudah meliputi nilai dari beberapa dimensi life skill. Dengan demikian staff pengajar dituntut untuk melaksanakan kajian-kajian terhadap materi pembelajaran yang akan diberikan kepada warga mencar ilmu yang ada relevansinya dengan aspek – aspek life skill. Dan secara personal staff pengajar juga di tuntut untuk bisa menjadi ‘pigur’ yang layak menjadi tauladan bagi anak didiknya.
Pembelajaran yang dikembangkan yaitu pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Menyenangkan, dan Berkelanjutan (PAKEMB) dengan konsep learn how to learn, modifikasi dari konsep yang dikembangkan (Delors, 1990) yang meliputi 4 (empat) dimensi, yaitu learn to know, learn to be, learn to do, dan learn to life together.
Learn to know, yaitu hasil mencar ilmu yang dimanfaatkan untuk memahami kenyataan sosial dan mencar ilmu lebih lanjut guna meningkatkan profesionalisme. Learn to be, yaitu hasil mencar ilmu dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari ibarat etos kerja dan sopan santun / moral baik di lingkungan masyarakat maupun di tempat kerja. Learn to do, yaitu hasil mencar ilmu dimanfaatkan untuk bekerja, baik kerja berdikari (wirausaha) maupun kerja sebagai karyawan di perusahaan. Learn to life together, yaitu hasil mencar ilmu yang dimanfaakan untuk hidup lebih baik dengan lingkungan sekitar, berdikari dan produktif, yaitu insan penuh manfaat sesuai dengan hakikat insan sebagai khalifah di muka bumi yang membawa misi risalah rahmat (rahmatan lil alamin).
Efisiensi pengelolaan keuangan pendidikan
Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar sanggup dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu (1) pemerintah, baik pemerintah pusat, kawasan maupun kedua-duanya, yang bersifat umum atau khusus dan diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan; (2) orang bau tanah atau peserta didik; (3) masyarakat, baik mengikat maupun tidak mengikat. Berkaitan dengan peneriman keuangan dari orang bau tanah dan masyarakat ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional1989 bahwa lantaran keterbatasan kemampuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dana pendidikan, tanggung jawab atas pemenuhan dana pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,masyarakat dan orang tua. Adapun dimensi pengeluaran meliputin biaya rutin dan biaya pembangunan.
Biaya rutin yaitu biaya yang harus dikeluarkan dari tahun ke tahun, ibarat honor pegawai (guru dan non guru), serta biaya operasional, biaya pemeliharaan gedung, akomodasi dan alat-alat pengajaran (barang-barang habis pakai). Sementara biaya pembangunan, misalnya, biaya pembelian atau pengembangan tanah, pembangunan gedung, perbaikan atau rehab gedung, penambahan furnitur, serta biaya atau pengeluaran lain unutk barang-barang yang tidak habis pakai. Dalam implementasi MBS, administrasi komponen keuangan harus dilaksanakan dengan baik dan teliti mulai dari tahap penyusunan anggaran, penggunaan, hingga pengawasan dan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku semoga semua dana sekolah benar-benar dimanfaatkan secara efektif, efisien, tidak ada kebocoran-kebocoran, serta bebas dari penyakit korupsi, kongkalikong dan nepotisme.
Komponen utama administrasi keuangan meliputi, (1) mekanisme anggaran; (2) mekanisme akuntansi keuangan; (3) pembelajaran, pergudangan dan mekanisme pendistribusian; (4) mekanisme investasi; dan (5) mekanisme pemeriksaan. Dalam pelaksanaannya administrasi keuangan ini menagnut azas pemisahan kiprah antara fungsi otorisator, ordonator dan bendaharawan. Otorisator yaitu pejabat yang diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang menimbulkan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Ordonator yaitu pejabat yang berwenang melaksanakan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan. Adapun bendaharawan yaitu pejabat yang berwenang melaksanakan penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran uang atau surat-surat berharga lainnya yang sanggup dinilai dengan uang serta diwajibkan menciptakan perhitungan dan pertanggungjawaban.
Kepala sekolah dalam hal ini, sebagi manajer, berfungsi sebagai otorisator, dan dilimpahi fungsi ordonator untuk memerintahkan pembayaran. Namun, tidak dibenarkan melaksanakan fungsi bendaharawan lantaran berkewajiban melaksanakan pengawasan kedalam. Bendaharawan, disamping mempunyai fungsi-fungsi bendaharawan, juga dilimpahi fungsi ordonator untuk menguji hak atas pembayaran.