Ketika membaca informasi di surat kabar atau internet, mendengar informasi di radio atau menonton informasi di televisi, kerap didapati aneka macam informasi yang menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Kontroversi timbul alasannya adanya perbedaan pendapat mengenai sesuatu hal yang diberitakan. Biasanya, hal ini terkait dengan kebijakan atau gagasan yang disebarluaskan melalui media massa. Misalnya, kontroversi mengenai perlu tidaknya pelaku tindak pidana korupsi dieksekusi mati. Bagi yang sepakat tentu akan memperlihatkan argumen-argumen yang mendukung pendapatnya disertai dengan data dan fakta yang sanggup dipertanggungjawabkan serta solusi yang ditawarkan. Begitupun halnya dengan pihak yang tidak sepakat terhadap sanksi mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Mereka juga akan mendasarkan pendapatnya menurut data dan fakta yang sanggup dipertanggungjawabkan serta solusi yang ditawarkan. Jika teks diskusi mengulas perihal dua sisi pendapat disertai dengan data dan fakta, maka teks tantangan hanya mengupas dari sudut pandang yang menentang atau tidak sepakat dengan gagasan yang dilontarkan. Teks tantangan inilah yang akan kita ulas berikut ini.
Pengertian
Yang dimaksud dengan teks tantangan ialah teks yang berisi informasi yang bersifat bantahan atau saingan terhadap sesuatu hal yang menjadi polemic atau kontroversi di masyarakat dan dilengkapi dengan data, fakta, serta argumen yang menguatkan bantahan atau saingan tersebut.
Ciri
Sebagaimana halnya teks lainnya yakni teks berita, teks iklan, teks eksempulum, teks ulasan, dan teks mekanisme dalam bahasa Indonesia, teks tantangan juga mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan teks lain. Adapun ciri-ciri teks tantangan ialah sebagai berikut.
- Teks tantangan berisi bantahan atau sanggahan mengenai hal-hal yang menjadi polemik atau kontroversi di masyarakat.
- Struktur teks tantangan terdiri dari isu atau masalah, argumen menentang, dan simpulan atau saran.
- Teks tantangan mengacu pada kaidah-kaidah kebahasaan menyerupai kalimat kompleks, kata hubung, kata rujukan, serta pilihan kata.
Struktur
Menurut Kemendikbud (2015), teks tantangan dibagi menjadi tiga belahan yaitu isu atau masalah, argumen menentang, dan simpulan atau saran.
- Isu atau masalah. Isu atau dilema berisi pernyataan perihal topik yang akan dibantah. Biasanya isu atau dilema ini berisi perihal hal-hal kontroversial yang berkembang di masyarakat atau media massa.
- Argumen menentang. Argumen berisi rangkaian bukti atau alasan untuk mendukung bantahan. Untuk memperkuat argumen, perlu disajikan data-data yang mendukung argumen tersebut.
- Simpulan atau saran. Simpulan berisi pernyataan yang menegaskan bantahan.
Kaidah
Menurut Kemendikbud (2015), teks tantangan mempunyai ciri-ciri kebahasaan yang khas antara lain memakai kalimat sanggahan, kalimat penolakan, dan kalimat pernyataan.
- Kalimat sanggahan ialah kalimat yang mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap masalah, pembicaraan, atau kebijakan. Ciri kalimat sanggahan antara lain ditandai dengan pilihan kata kurang sependapat, perlu ditinjau kembali, belum sesuai, kurang tepat, sebaiknya. (Baca juga : Contoh Kalimat Sanggahan)
- Kalimat penolakan ialah kalimat yang berisi tidak setuju, kurang setuju, sependapat, kurang sependapat atau membantah dalam suatu hal. Ciri-ciri kalimat penolakan antara lain ditandai dengan pilihan kata tidak setuju, kurang setuju, tidak sependapat, menolak, ditolak, menentang, tantangan, membantah, bantahan, sanggahan, disanggah. (Baca juga : Contoh Kalimat Penolakan)
- Kalimat pernyataan atau kalimat deklaratif. Kalimat pernyataan ialah kalimat yang ditandai dengan intonasi turun dan pada umumnya mengandung makna yang menyatakan atau memberitahukan sesuatu. Dalam bahasa tulis, biasanya diberi tanda titik pada belahan akhir. (Baca juga : Contoh Kalimat Deklaratif)
Contoh
Berikut ialah pola teks tantangan perihal kesehatan yang dikutip dari laman Media Indonesia tanggal 3 Agustus 2018.
Polemik Kebijakan Layanan BPJS Kesehatan Penulis: Ferdinandus S Nggao Peneliti Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia |
---|
Belum usang ini, BPJS Kesehatan mengeluarkan tiga kebijakan baru, yakni layanan kesehatan aktivitas Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terkait dengan katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Kebijakan itu menjadi polemik, menjadikan kegaduhan alasannya menerima reaksi negatif dari beberapa pihak. Terutama Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) serta sejumlah asosiasi profesi bidang kesehatan, menyerupai IDI dan Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI). Bahkan IFI sempat menginstruksikan anggotanya untuk tidak melayani pasien BPJS. DJSN merekomendasikan peraturan itu dicabut, sedangkan Menkes sempat meminta peraturan itu ditunda. Pihak yang berkeberatan mempunyai argumentasi bahwa ketiga kebijakan itu berdampak pada penurunan mutu layanan kesehatan kepada masyarakat (peserta). DJSN juga mempersoalkan kewenangan BPJS dalam memilih cakupan manfaat layanan. Sementara itu, BPJS Kesehatan mempunyai argument bahwa kebijakan gres itu dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan kesehatan. BPJS Kesehatan melaksanakan ini sebagai upaya mengatasi defisit laba yang dialaminya. Polemik ini tentu akan berdampak negatif pada gambaran aktivitas JKN. Polemik ini menyerupai menjatuhkan muruah JKN. Pertama, polemik ini mempertontonkan renggangnya koordinasi antarinstansi terkait. Institusi yang mengajukan keberatan ialah institusi yang diakui mempunyai tugas penting dalam penyelenggaraan JKN. Polemik ini berdampak pada terganggunya pelayanan kepada masyarakat. Ibarat kata, gajah bertarung sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Instruksi IFI kepada anggotanya untuk menghentikan layanan pasien BPJS, misalnya, sudah tentu akan mengorbankan pasien BPJS yang membutuhkan layanan fisioterapi. Polemik ini juga menjadikan kebingungan pada masyarakat yang bisa mengacaukan pemahaman terhadap JKN. Perbedaan pandangan yang muncul secara terbuka melalui aneka macam media memberi kesan kepada masyarakat akan tidak jelasnya JKN. Kesan ini bisa menjadikan persepsi pada masyarakat bahwa JKN ini masih belum jelas. Kedua, ketiga kebijakan gres itu mengandung adanya pembatasan layanan dari yang sudah dilakukan sebelumnya. Pembatasan inilah yang menjadi pangkal keberatan sejumlah pihak. Kendati dalam pandangan BPJS Kesehatan, pembatasan layanan ini tidak berdampak pada penurunan kualitas layanan, pembatasan ini bisa menjadikan ketidakpuasan pada pasien. Ketidakpuasan ini bisa berdampak negatif pada gambaran JKN. Dalam perspektif marketing, ketidakpuasan masyarakat akan mengurangi daya tarik masyarakat pada JKN. Sebagai produk jasa, sasaran simpulan yang diinginkan JKN ialah customer satisfaction. Kepuasan ini salah satu faktor yang akan membentuk gambaran JKN. Artinya, kalau masyarakat tidak puas, gambaran JKN akan cenderung negatif. Citra negatif yang terbangun dari polemic kebijakan ini tentu akan menambah berat pelaksanaan aktivitas JKN ke depan. Selama ini, sudah banyak keluhan masyarakat yang berkonstibusi pada gambaran negatif pelaksanaan JKN. Mulai penetapan kuota penerima JKN yang dilayani RS, pembatasan waktu layanan, hingga keterbatasan sarana dan prasarana. Citra negatif ini merupakan salah satu penyebab masih kurangnya minat masyarakat mengikuti aktivitas ini. Kendati aktivitas ini wajib, upaya untuk mencapai kepersertaan 100% yang ditargetkan Januari 2019 bukanlah pekerjaan mudah. Sampai Juli 2018, total penerima terdaftar mencapai sekitar 199 juta dari sekita 257 juta jumlah penduduk. Di smaping itu, masih cukup banyak penerima yang menunggak. Pada 2017, misalnya, tercatat sekita 12 juta penerima yang menunggak. Tanggung Jawab Negara Persoalan pokok yang dihadapi BPJS hingga dikala ini, yang juga mendasari keluarnya kebijakan gres BPJS Kesehatan ialah defisit keuangan. Kita perlu memperlihatkan apresiasi kepada BPJS Kesehatan yang telah berusaha melaksanakan efisiensi pembayaran, termasuk penemuan yang memudahkan penerima melaksanakan pembayaran. Namun, upaya mengatasi deficit dengan membatasi manfaat bukan pilihan yang bijak. Jalan ini bisa merugikan masyarakat dan menjadikan gambaran negatif terhadap JKN. Perlu dipahami, defisit yang dialami BPJS Kesehatan boleh dikatakan merupakan defisit yang direncanakan alasannya iuran masyarakat yang ditetapkan pemerintah untuk kelas II dan III masih di bawah perhitungan aktuaria. Iuran kelas III sebesar Rp 25.500 per bulan, sedangkan menurut hitungan aktuaria seharusnya Rp. 53.000. Iuran kelas II sebesar Rp 51.000 per bulan, sedangkan menurut hitungan aktuaria seharusnya Rp 63.000 per bulan. Hanya iuran Kelas I sebesar Rp 80.000 yang sesuai dengan hitungan aktuaria. Dengan demikian, penetapan iuran ini saja sudah mengandung defisit di dalamnya. Artinya, kepersertaan 100% pun tidak menjamin BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit. Penetapan iuran menyerupai ini bisa dipahami alasannya memang JKN merupakan perwujudan sistem jaminan sosial. Secara konseptual, penyelenggaraan jaminan sosial merupakan tanggung jawab negara. Kendati demikian, penyelenggaraan JKN ini dilakukan dengan mekanisme asuransi sosial, masyarakat iku berkontribusi melalui iuran, negara tetap hadir sebagai penanggung jawab. Peran sentral negara dalam penyelenggaraan jaminan sosial tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28 H dan Pasal 34, serta UU No. 40/2004 perihal Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam UU SJSN dinyatakan bahwa jaminan sosial ialah salah satu bentuk pinjaman sosial untuk menjamin seluruh rakyat biar sanggup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Karena itu, tanpa mengabaikan tugas BPJS dari sisi operasionalnya, tanggung jawab utama mengatasi deficit tetap pada negara, dalam hal ini pemerintah. Upaya mengatasi deficit ini tidak bisa hanya diserahkan kepada BPJS Kesehatan. Apalagi, Pasal 48 UU SJSN menyatakan pemerintah sanggup melaksanakan tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Bila mengacu pada kondisi yang ada, ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan, menyerupai menaikkan iuran, subsidi, mencari laternatif sumber pembiayaan lain, dan meningkatkan tugas pemda. Mengurangi nilai manfaat atau cakupan layanan tidak disarankan alasannya akan merugikan masyarakat. Sementara itu, menaikkan iuran perlu pertimbangan cermat alasannya akan menambah beban masyarakat. Pilihan yang sanggup dilakukan ialah menaikkan iuran PBI yang menjadi tanggungan pemerintah atau subsidi. Pilihan yang cukup strategis ialah mencari alternatif sumber dana lain, yaitu memakai dana cukai dan pajak rokok. Pemerintah sudah mewacanakan ini semenjak beberapa waktu lalu, tetapi belum terlaksana. Rencana ini sudah ada, yang diharapkan dikala ini ialah akad pemerintah untuk mempercepat realisasi penggunaan cukai dan pajak rokok ini. Jalan ini dinilai paling sempurna alasannya merokok beresiko menjadikan penyakit. Di samping itu, hal ini sanggup dikategorikan sebagai upaya preventif, mengendalikan konsumsi rokok. Peran pemda juga perlu dioptimalkan, menyerupai mengintegrasikan aktivitas Jamkesda ke JKN, membantu membayar iuran warga tidak bisa di luar PBI. Peran pemda ini juga dikaitkan dengan upaya mempercepat realisasi planning pemanfaatan dana cukai dan pajak rokok yang sudah direncanakan. Karena dikala ini, upaya ini masih terganjal persetujuan DPRD alasannya terkait dengan pemasukan dalam kas daerah. |
Demikianlah ulasan singkat perihal teks tantangan dalam bahasa Indonesia terkait dengan pengertian, ciri, struktur, kaidah, dan contoh. Artikel lain yang sanggup dibaca antara lain perbedaan kalimat sanggahan dan penolakan, jenis-jenis kalimat deklaratif, contoh kalimat deklaratif aktif transitif, contoh kalimat deklaratif aktif intransitif, contoh kalimat deklaratif aktif semitransitif, contoh kalimat deklaratif pasif, kalimat persetujuan, penyanggahan, dan penolakan, contoh kalimat persetujuan dan penolakan, contoh kalimat persetujuan, dan jenis-jenis kalimat. Semoga bermanfaat. Terima kasih.
Sumber https://dosenbahasa.com