Sekitar tahun 2015 pemerintah mulai mengeluarkan kartu jaminan kesehatan gres yang disebut BPJS, sesudah sebelumnya Jamsostek ataupun Askes. BPJS kesehatan ini sendiri mulai diperkenalkan saat bekerja disebuah perusahaan, pemerintah mewajibkan setiap perusahaan mendaftarkan seluruh karyawannya untuk mempunyai kartu BPJS, padahal berdasarkan saya tidak terlalu penting juga, perusahaan sudah menjamin kesehatan pekerjanya dengan asuransi swasta yang notabene jauh lebih baik dibandingkan BPJS.
PENGALAMAN MENGGUNAKAN ASURANSI SWASTA
Saya pernah bekerja di dua perusahaan yang berbeda, masing-masing perusahaan mempunyai partner kolaborasi dengan pihak asuransi swasta bagi pekerjanya, contohnya pada perusahaan pertama dimana saya bekerja, pihak perusahaan memperlihatkan asuransi kesehatan Allianz, dan perusahaan kedua memakai asurnasi kesehatan Mega Health.
Baik itu asuransi Allianz atau Mega Health ataupun bahkan yang lainnya (swasta), memperlihatkan jaminan kesehatan yang memang sangat gampang bagi karyawannya, karyawan hanya memperlihatkan kartu asuransi ke Klinik atau Rumah sakit yang sudah bekerja sama dengan asuransi tersebut. Kaprikornus tidak menyerupai BPJS kesehatan yang mengharuskan ke Klinik terlebih dahulu, jikalau tidak sanggup maka dirujuk kerumah sakit.
Kelebihan memakai asuransi swasta ialah pasien tidak perlu mengantri panjang menyerupai pasien BPJS, alasannya ialah memang antrian pasien umum itu jauh lebih sedikit, kedua obat yang diberikan pun yakni obat yang masih memiliki hak paten, yang mana obat ini jauh lebih cantik dibandingkan generik. Selain itu pasien bebas menentukan klinik atau rumah sakit selama itu bekerja sama dengan pihak asuransi terkait, dan tidak memerlukan surat rujukan.
Namun dibalik kelebihannya, ternyata ada kekurangannya, contohnya ada batasan nominal berobat atau biasa disebut plafon tahunan, setiap asuransi swasta mempunyai jumlah batas plafon yang berbeda-beda, dan ini juga dipengaruhi jumlah biaya bulanan penggunanya. Berhubung saya bekerja diperusahaan dan seratus persen ditanggung oleh perusahaan (biaya asuransi), saya tidak mempermasalahkan ini.
SUKA DUKA MENGGUNAKAN BPJS KESEHATAN
Semenjak saya tidak bekerja lagi diperusahaan, saya memutuskan untuk masih memakai BPJS Kesehatan. Awalnya memang sangat ribet sekali pindah dari PBI (penerima pemberian iuran, menyerupai pekerja yang terikat, fakir, miskin, dll) ke Non PBI (mandiri). Saya harus menunggu sekitar dua ahad sebelum hasilnya kartunya jadi dan sanggup digunakan. Hal yang paling menyebalkan ialah jumlah antrian customer service yang luar biasa banyak, saya harus tiba pukul tujuh pagi untuk mengambil nomor antrian, padahal gres buka pukul delapan, dan saya gres sanggup ke customer sevice pukul duabelas siang.
'Suka'nya memakai BPJS kesehatan atau lebih tepatnya kelebihan memakai asuransi BPJS kesehatan ialah tidak ada plafon tahunan serta batas biaya pengobatan, baik itu rawat jalan ataupun rawat inap. Selain itu BPJS juga sanggup untuk melaksanakan perawatan gigi, contohnya pencabutan gigi, penambalan gigi, operasi kecil gigi dan bahkan konservasi gigi. Namun itu semua pasien harus bersabar, antrian yang sangat panjang menjadi kekurangan asuransi BPJS ini, bahkan sebagian pasien tidak sanggup berobat dengan alasan kuota penuh, tapi saya mewajarkan alasannya ialah memang jadwal dokter tidak sebanding dengan membludaknya pasien BPJS. Selain itupun obat yang diberikan sebagian besar ialah obat generik.
PENGALAMAN DITOLAK DIRUMAH SAKIT, PADAHAL SUDAH MASUK IGD
Ini ialah pengalaman yang hingga kini tidak sanggup lupa sama sekali, ya saya dikecewakan oleh dokter atau pihak rumah sakit yang memilih-milih pasien. Awalnya ayah saya sakit pada hari rabu, dan kesehatanya tidak kunjung membaik hingga hari jumat, hasilnya berobatlah ke Klinik dengan memakai BPJS.
Namun hingga hari ahad pun tidak ada peningkatan, hasilnya saya memutuskan untuk melaksanakan rawat inap. Klinik tidak sanggup menampung pasien BPJS untuk rawat inap, alasannya ialah memang dalam aturannya tidak ada, dan pasien BPJS kalau ingin rawat inap harus di rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS.
Bagian registrasi diklinik menyampaikan bahwa kalau ingin rawat inap eksklusif saja kerumah sakit tanpa harus minta surat rujukan dari (klinik) sini, alasannya ialah melihat ayah saya yang sudah payah sekali dan harus memakai dingklik roda, bab registrasi di klinik menyuruh saya untuk tiba ke bab IGD rumah sakit, nanti juga akan ada yang menangani. Jika saya memakai surat tumpuan artinya saya harus mengantri ke bab registrasi pasien BPJS rumah sakit selama berjam-jam, dan mengantri kembali di poli tertentu selama berjam-jam, itu akan melelahkan terlebih ayah saya.
Pada hari senin pagi saya membawa ayah ke rumah sakit, tiba eksklusif ke IGD memakai dingklik roda, sesampainya disana saya ditanyakan surat tumpuan oleh perawatnya. Saya menyampaikan bahwa saya tidak memintanya ke klinik terlebih dahulu, dan pihak klinik pun menyuruh untuk eksklusif tiba ke IGD RS tanpa surat rujukan, tapi si perawat itu bilang "tetap saja pak harus ada rujukannya" dengan nada sedikit marah, saya rasa perawat dirumah sakit ini kurang ramah terhadap pasien BPJS, mentang-mentang hanya pasien BPJS jadi kami didiskriminasi.
Akhirnya dengan sedikit perdebatan dengan si perawat itu, ayah saya sanggup masuk ruang IGD, satu jam menunggu hasilnya dokter yang mengusut datang, padahal pasien di IGD tidak terlalu banyak, hanya sekitar empat atau lima orang. Ayah saya diperiksa dan di ambil sampel darahnya, dokter meminta untuk menunggu selama tiga puluh menit.
Sembari menunggu dokter pindah ke tirai sebelah, alasannya ialah ada pasien yang tiba dan dokter memeriksanya. Percakapan antara pasien dan dokter terdengar sangat jelas, pasien itu sudah dua hari sakit demam dan selama dua hari belum turun juga panasnya, saya juga memang melihatnya saat ia tiba dari depan dengan wajah pucat, ia bekerja disebuah perusahaan. saya masih ingat pervakapan antara keduanya ;
Dokter: "Bapak sesudah ini boleh eksklusif pulang ya, nanti saya akan beri obat" dokter telah mengusut sebelumnya.
Pasien : "Dok, saya sanggup pengen dirawat disini? "
Dokter : "bapak sudah berapa hari sakitnya?"
Pasien: "dua hari dok"
Dokter : " kalau masih dua hari demam, itu masuk akal pak, nanti akan cepat sembuh kalau diberi obat, minimal untuk dirawat inap itu harus sudah lima hari sakitnya, gres bisa"
Pasien :"tapi dok saya dikosan sendiri dan tidak ada yang menemani apalagi mengurus"
Dokter; " sepakat kalau bapak yang menginginkan demikian, maka saya akan mengurus proses rawat inapnya" dokter bicara panjang lebar, tolong-menolong pasien diharuskan pulang, tapi akhrinya diperbolehkan juga rawat inap.
Setengah jam berlalu dan hasilnya hasil darah pun keluar, dokter tiba dan berbicara dengan kami, saya menyampaikan ayah saya sakit semenjak hari rabu dan hari ini ialah hari senin, jadi sudah lima hari demam tidak kunjung turun, dan diklinik pun diagnosa tanda-tanda tifus/tipoid. Tapi saya kecewa dokter tidak memperbolehkan ayah saya dirawat inap dirumah sakit ini, dan menyuruh untuk eksklusif pulang, dan yang bilang ini ialah si perwatnya itu, bukan dokternya. Awalnya saya bersikeras untuk dilakukan rawat inap, si perawat masuk ke ruang dokter untuk menanyakan, dan dokterpun tidak mengizinkannya. Akhirnya saya pasrah dan kembali pulang.
Ya Allah, apakah alasannya ialah kami pasien BPJS kesehatan sehingga dilakukan menyerupai ini, terang jelas saya mendengar dokter itu mengatakan minimal lima hari sakit sanggup dirawat, tapi ayah saya tetap tidak bisa, terang sangat kecewa alasannya ialah pasien sebelah yang gres dua hari sakit sanggup rawat inap. Saya tahu ia memakai asuransi dari perusahaan atau tepatnya asuransi swasta, yang boleh dikatakan proses klaim uang ke rumah sakit itu lebih cepat dibandingkan BPJS yang sanggup hingga dua minggu. Dan saya tahu rumah sakit itu biasanya menyisakan ruang rawat inap untuk pasien umum atau asuransi swasta, jadi mereka kadang berkata ruangan penuh, padahal masih banyak yang kosong, atau apakah dokter bersekongkol dengan pihak administrasi rumah sakit semoga menahan pasien BPJS supaya tidak rawat inap? entahlah, hanya mereka yang tahu.
Padahal kami sebagai pasien BPJS kesehatan berdikari membayar iuran perbulannya, bahkan keluarga saya tidak pernah telat membayar BPJS bulanan, paling telat tanggal sepuluh tiap bulannya. Tapi apa yang kami dapat? DISKRIMINASI !
AKHIR KATA
Begitulah suka murung menjadi pasien BPJS kesehatan, kita harus bersabar dalam melaksanakan pengobatannya. Saya harap pemerintah lebih serius lagi terhadap jadwal kerja yang satu ini, kami itu masyarakat Indonesia yang tidak selamanya sehat, kami terkadang sakit, tapi apa yang kami sanggup dari jadwal yang menghabiskan dana APBN triliyunan rupiah ini? sungguh tidak memuaskan.
Sumber http://www.hendrisetiawan.com