Namun seringkali guru ketika melaksanakan tugasnya merasa tidak aman. Banyak terdengar ketika guru menegur dan memberi eksekusi menimbulkan tuntutan dari wali murid, guru dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Guru dituntut dan dituduh melaksanakan penganiayaan kepada peserta didik dan seringkali dikenakan pasal santunan terhadap anak, dan berujung di meja pengadilan dan lebih fatalnya berujung di penjara. Apakah pantas perlakuan ini? Guru yang berniat untuk mendidik dan membentuk huruf anak bangsa ini malah diperlakukan menyerupai itu, perlakuan menyerupai itu merupakan pembunuhan terhadap huruf guru. Akibatnya, beberapa guru tidak lagi perhatian atau tidak peduli terhadap sikap anak didik. Beberapa guru tidak lagi mau menegur anak didiknya yang nakal, anak didiknya yang merokok. Mengapa? Karena guru ‘takut’. Takut dipenjara, takut kehilangan pekerjaan. Guru tidak punya tempat pengaduan. Guru tidak diberi kesempatan membela diri.
Akhirnya, guru sanggup “sedikit” kondusif dengan dikeluarkannya PP 74 tahun 2008 wacana Guru. Beberapa pasal yang penting yaitu:
- Pasal 39 ayat 1. “Guru mempunyai kebebasan menawarkan hukuman kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulismaupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.” Dalam ayat 2 disebutkan, hukuman tersebut sanggup berupa teguran dan/atau peringatan, baik verbal maupun tulisan, serta eksekusi yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, isyarat etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 40. "Guru berhak mendapat santunan dalam melaksanakan kiprah dalam bentuk rasa kondusif dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing".
- Pasal 41. "Guru berhak mendapat santunan aturan dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang renta peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain."
Guru merasa ‘sedikit’ aman, istilah ini berlaku buat guru-guru honorer di sekolah negeri yang ingin sertifikasi guru, terkendala oleh adanya aturan manajemen yang menyebutkan guru honorer sekolah negeri boleh sertifikasi kalau mempunyai SK Bupati/Walikota. Padahal, pemerintah tahu, bahwa banyak guru honorer negeri hanya mempunyai SK Kepala Sekolah. Hal ini bahwasanya telah menciptakan diskriminasi dan telah mengabaikan santunan profesi guru tersebut. Belum lagi kalau ada penerimaan CPNS guru, para guru honorer selalu di bayangin rasa khawatir, bagaimana kalau guru PNS gres ditempatkan di sekolah itu dan satu bidang studi dengannya sementara jam mengajar pun sedikit. Sedih rasanya membayangkan bagaimana mereka mengabdi bertahun-tahun dengan upah minim dan selalu dibayang-bayangi rasa khawatir.
Walaupun demikian, seseorang yang telah menentukan profesi guru hendaknya tetap bersemangat, menginspirasi anak didiknya, tidak berputus asa, berpengharapan bahwa bangsa ini akan lebih baik. Ingat, masih ada yang memberi santunan sejati yaitu santunan dari Tuhan Yang Maha Esa. Amin.