BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul) yaitu suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa Azhar, calon mujtahid yang akan meneruskan usaha pendahulu-pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam dimanapun berada. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul ushuliyah. Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba untuk menerangkan wacana kaidah-kaidah ushul, mulai dari pengertian, perkembangan, sumber-sumbernya, dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah ushul.
II. Rumusan Masalah
1. Mengerti dan memahami pengertian kaidah ushul.
2. Menyebutkan sumber-sumber pengambilan kaidah-kaidah ushul.
3. Menyebutkan rukun serta syarat-syarat kaidah-kaidah ushul.
4. Mengerti persamaan serta perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh?
1. Mengerti dan memahami pengertian kaidah ushul.
2. Menyebutkan sumber-sumber pengambilan kaidah-kaidah ushul.
3. Menyebutkan rukun serta syarat-syarat kaidah-kaidah ushul.
4. Mengerti persamaan serta perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh?
5. Mengerti kekerabatan antara kaidah-kaidah ushul dengan ushul fiqh itu sendiri?
6. Mengetahui faedah serta kedudukan kaidah-kaidah ushul.
7. Mengetahui buku-buku yang di karang ulama wacana kaidah-kaidah ushul.
7. Mengetahui buku-buku yang di karang ulama wacana kaidah-kaidah ushul.
III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan semoga kita mengetahui, memahami dan mengerti wacana hal-hal yang bekerjasama dengan kaidah-kaidah ushul, mulai dari definisi, sumber-sumber, rukun, syarat, perbedaannya dengan kaidah-kaidah fiqh, hubungannya dengan ilmu ushul fiqh dan buku-buku yang menjadi subernya.
BAB II
PENGERTIAN
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu wacana kaidah-kaidah ushul diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah ushul fiqh, kita kita akan mencoba menjelaskan beberapa permasalahan mulai dari defenisi kaidah secara bahasa dan istilah, defenisi ushul fiqh secara bahasa dan istilah, defenisi kaidah-kaidah ushuliyyah secara bersamaan. Didalam seluruh defenisi tadi terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama, penyusun akan mencoba menulis beberapa defenisi dari kalangan ulama atau hanya sekedar menulis defenisi yang berdasarkan penyusun lebih rajih atau lebih kuat.
Defenisi kaidah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya.
Dari seluruh arti tadi sanggup kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan keluar dari dasar atau pondasi dan daerah sesuatu.
Adapun secara istilah berbagai defenisi yang di buat oleh para ulama, tetapi yang paling lengkap dan paling baik berdasarkan penyusun adalah: ”Suatu kasus kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya“
Defenisi Ushul Fiqh
Untuk defenisi ushul fiqh sengaja penyusun tidak sebutkan lantaran sudah ada yang membahasnya..
Defenisi kaidah-kaidah ushuliyah
Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” aturan kulli (berifat umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”. Defenisi ini belum maani’ lantaran kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.
Prof. Dr. Muhammad Syabir mendefinisikan sebagai:” ”Suatu kasus kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya sanggup hingga pada pengambilan kesimpulan aturan syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Defenisi yang berdasarkan penyusun lebih akurat adalah:” Hukum kulli (umum) yang dibuat dengan bentuk yang akurat yang menjadi mediator dalam pengambilan kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil”.
BAB III
SUMBER-SUMBER PENGAMBILAN KAIDAH-KAIDAH USHUL
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah), ‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara terperinci kita jelaskan dibawah ini.
Pertama: Al Qur’an.
Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, untuk membebaskan insan dari kegelapan. Kitab ini yaitu kitab undang-undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui apa yang bermanfaat bagi insan dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi ummat dari segalah penyakitnya. Allah berfirman :
“dan Kami turunkan dari Al Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)
Dan firman Allah:
“dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar besar hati bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS An Nahl: 89)
Ini yaitu kedudukan al Qur’an. Penyusun yakin semua orang tahu itu, maka tidak perlu di perpanjang di sini.
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari Al Qur’an adalah:
1. Sunnah yaitu sumber aturan yang di akui, dengan dalil
وماينطقعنالهويإنهوإلاوحييوحي
2. Al Qur’an sanggup difahami dari uslub-uslub bahasa arab, dengan dalil
إنا أنزلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون
3. Adat atau kebiasaan di akui sebagai aturan pada permasalahan yang tidak mempunyai dalil, dengan dalil
حذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Kedua: As Sunnah
Allah memperlihatkan kemuliaan kepada nabi Muhammad SAW dengan mengutusnya sebagai nabi dan rasul terakhir untuk umat insan dengan tujuan memberikan pesan-pesan ilahi kepada umat. Maka nilai kemuliaan Rasulullah bukan dari dirinya sendiri tetapi dari Sang Pengutus yaitu Allah SWT, lantaran siapapun yang menjadi utusan pasti lebih rendah tingkatannya dari yang mengutus. Allah Berfirman yang artinya:” Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul”. (QS. Ali Imran: 144).
Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh rasulullah. Allah berfirman yang artinya:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah kalau Dia wafat atau dibunuh kau berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak sanggup mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)
Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah yaitu merupakan salah satu sumber agama islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 53,132,144, 172 juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan masih banyak lagi. Bahkan didalam surat Al Hasyr Allah berfirman:
“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.“
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari hadits adalah:
1.Perintah yang mutlak hukumnya wajib (الأمر المطلق يفيد الوجوب)
2.Ijma’ merupakah hujjah yang di akui secara syar’I (الإجماع حجة معتبرة شرعا)
3. Jika berkumpul perintah dan larangan maka larangan di dahulukan (إذا اجتمع الآمر والمحرم قدم المحرم)
4. Qiyas merupakan hujjah yang di akui secara syar’I (القياس حجة معتبرة شرعا)
Ketiga: Ijma’
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ijma adalah:
1. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadits minggu sanggup di terima”.
2. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”
3. Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang sebelumnya”.
Keempat: Akal
Keempat: Akal
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, lantaran kita tidak akan faham islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang memperlihatkan bahwa Allah itu ada? Jika dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang memperlihatkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang memperlihatkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil bahwa alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian sanggup kita fahami bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh lantaran itulah nalar merupakan syarat taklif dalam islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan secama, bahwa nalar tidak sanggup berkerja sendiri tanpa syar’I. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan nalar merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di hasilkan dari nalar adalah:
1. Al Qur’an merupakan dalil yang di akui.
2. Baik dan jelek hanya di ketahui melalui syar’I bukan akal
3. Yang lebih besar lengan berkuasa didahulukan dari yang lemah.
Kelima: Perkataan Sahabat
Diantara kaidah-kaidah ushul yang diambil dari perkataan-perkataan sahabat Rasulullah adalah:
1. Hadits-hadits Ahad zonniyah
2. Qiyas yaitu hujjah
3. Hukum yang terakhir menghapus aturan yang terdahulu (naskh)
4. Orang awam boleh taqlid
5. Nash lebih di utamakan dari qiyas maupun ijma’
Diantara kaidah-kaidah ushul yang di ambil dari ilmu-ilmu islam
1. Ilmu Ushuluddin
* Baik dan jelek sanggup diketahui dengan syar’I bukan dengan akal
* Rasulullah tidak menetapkan ijtihad yang salah
* Tidak ada yang ma’sum kecuali nabi
* Syari’at islam menghapus syari’at sebelumnya
* Domir goib kadang kala kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu sanggup di ketahui melalui siyaaq kalimat.
* Kalimat Aina (أين) memperlihatkan daerah (syarat ataupun istifham) dan ( متي و أيان) memperlihatkan waktu (syarat atupun istifham)
* Fi’il madi kalau menjadi fiil syarat, ia berkembang menjadi kaliamat insyaa berdasarkan janji hebat nahwu.
* (إلي) memperlihatkan selesai sesuatu (waktu maupun tempat)
* Dan sebagainya.
o Kaidah سد الذرائع
o Kaidah susila dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
o Kaidah المصالح المرسلة
2. Ilmu Bahasa Arab
* Domir goib kadang kala kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu sanggup di ketahui melalui siyaaq kalimat.
* Kalimat Aina (أين) memperlihatkan daerah (syarat ataupun istifham) dan ( متي و أيان) memperlihatkan waktu (syarat atupun istifham)
* Fi’il madi kalau menjadi fiil syarat, ia berkembang menjadi kaliamat insyaa berdasarkan janji hebat nahwu.
* (إلي) memperlihatkan selesai sesuatu (waktu maupun tempat)
* Dan sebagainya.
3. Ilmu Fiqih
* Kaidah سد الذرائع
* Kaidah susila dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
* Kaidah المصالح المرسلة
BAB IV
RUKUN DAN SYARAT KAIDAH-KAIDAH USHUL
Rukun-rukun kaidah Ushuliyyah
Ketika kita melihat sebuah kaidah ushul, النهي للكرار (larangan memperlihatkan pengulangan) umpamanya kita akan menemukan 4 rukun didalamnya:
Pertama : Maudu’ (tema) yaitu النهي
Kedua : Mahmuul yaitu التكرار
Ketiga : p3nsbatan antara keduanya yaitu kebergantungan rukun kedua dengan rukun pertama
Keempat : Terjadi atau tidaknya rukun ketiga pada keduanya.. (Apakah perintah memperlihatkan pengulangan benar-benar terjadi atau tidak?) Jika keempat-empatnya yaitu tasowwurot dimanakah hukumnya atau at tasdiq ?? Ahli mantiq dikala berusaha menuntaskan permasalahan ini berbeda pada 2 pendapat:
1. Al Falasifah menyampaikan bahwa at tasdiq yaitu rukun ke empat saja, dengan kata lain berdasarkan falasifah, kaidah-kaidah ushul cukup dengan satu rukun saja yaitu rukun yang keempat.
2. Imam Ar Razi menyampaikan bahwa at tasdiq tidak cukup dengan rukun ke empat saja tetapi campuran dari keempat rukun tersebut.
Syarat-syarat kaidah Ushuliyyah
1. Harus dalam bentuk yang singkat
2. Merupakan kasus yang sempurna
3. Maudu’nya (temanya) harus kulli bukan juz’I (umum)
4. Kaidah-kaidah ushul tersebut tidak bertentangan dengan syari’at dan maqosid syari’ah
5. Tidak bertentangan dengan kaidah lain (baik itu kaidah ushul ataupun kaidah fiqh) yang sebanding dengannya atau lebih besar lengan berkuasa darinya.
6. Kaidah-kadiah ushul tersebut harus tegas dan tidak ragu-ragu
BAB V
HUBUNGAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHUL
DENGAN USHUL FIQH
Ketika kita melihat defenis dari ushul fiqh dan kaidah-kaidah ushul, akan terang sekali perbedaan atara keduanya. Tetapi meskipun demikian, keduanya tidak akan sanggup dipisahkan lantaran ilmu kaidah-kaidah ushul merupakan kepingan dari ilmu ushul fiqh. Hubungan antara keduanya yaitu kekerabatan atara umum dan khusus (ilmu ushul fiqh lebih umum dari ilmu kaidah-kaidah ushul).
Adapun perbedaan atara keduanya yaitu sebagai berikut:
* Mayoritas kaidah-kaidah ushul yaitu nilai yang di ambil dari ushul fiqh (ushul fiqh jauh lebih luas pembahasannya daripada kaidah-kaidah ushul).
* Perbedaan dalam segi maudu’ (tema). Tema kaidah-kaidah ushul yaitu ushul fiqh itu sendiri adapun tema ushul fiqh yaitu al- adillah al ijmaliayah min hautsu dobthi al fiqh.
* Dari segi Tujuan. Tujuan dari kaidah-kaidah ushul yaitu menyempurnakan ushul fiqh dengan cara menyempurnakan nilai-nilai ushul dengal lafaz yang singkat, dan mengembalikan nilai-nilai tersebut kepada nilai yang lebih umum yang menjadi kaidah buat kaidah tersebut. Dengan demikian tujuan ilmu kaidah-kaidah ushul yaitu ingin memperlihatkan bentuk lain untuk ushul fiqh dalam bentuk kaidah yang lebih singkat dan sistematis. Adapun tujuan ushul fiqh yaitu pencapaian nilai-nilai yang sanggup menyempurnakan ijtihad dalam fiqh.
* Dari segi histories (Apakah ushul fiqh muncul terlebih dahulu atau kaidah-kaidah ushul?)
Sahabat-sahabat Rasulullah, tabi’in dan yang mengikuti mereka semenjak dahulu telah berijithad dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul. Kemudian pembahasan semakin luas hingga muncullah ilmu ushul fiqh. Demikian juga ilmu ushul fiqh semakin luas hingga di butuhkan kaidah-kaidah singkat yang sanggup dengan gampang diterapkan oleh seorang mujtahid, dan inilah yang menjadi tonggak munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul. Dengan demikian kaidah-kaidah ushul lebih dahulu muncul dari ilmu ushul fiqh, dah ilmu ushul fiqh muncul sebelum munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul.
Sahabat-sahabat Rasulullah, tabi’in dan yang mengikuti mereka semenjak dahulu telah berijithad dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul. Kemudian pembahasan semakin luas hingga muncullah ilmu ushul fiqh. Demikian juga ilmu ushul fiqh semakin luas hingga di butuhkan kaidah-kaidah singkat yang sanggup dengan gampang diterapkan oleh seorang mujtahid, dan inilah yang menjadi tonggak munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul. Dengan demikian kaidah-kaidah ushul lebih dahulu muncul dari ilmu ushul fiqh, dah ilmu ushul fiqh muncul sebelum munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul.
BAB VI
PERBEDAAN ANTARA KAIDAH-KAIDAH USHULIYYAH DENGAK KAIDAH-KAIDAH FIQHIYYAH
Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang meliputi masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh lantaran itu, dalam perspetif ini kaidah ushul sangatlah menyerupai dengan kaidah fiqih.
Namun, kita pun sanggup melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut, secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Kaidah ushul pada hakikatnya yaitu qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah aturan syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam memilih suatu hukum. Dengan kata lain, kita sanggup memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu aturan syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih yaitu suatu susunan lafadz yang mengandung makna aturan syar’iyyah aghlabiyyah yang meliputi di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita sanggup memahami bahwa kaidah fiqih yaitu aturan syar’i. Dan kaidah ini dipakai sebagai istihdhar (menghadirkan) aturan bukan istinbath (mengambil) aturan (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menandakan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu aturan syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita sanggup mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menandakan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung aturan syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung pesan yang tersirat syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan meliputi seluruh furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang banyak terdapat istitsna’iyyah, lantaran itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah umum).
4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun sanggup dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6. Kaidah-kaidah ushul lebih besar lengan berkuasa dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama setuju bahwa kaidah-kaidah ushul yaitu hujjah dan lebih banyak didominasi dibangun diatas dalil yang qot’I. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian menyampaikan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian menyampaikan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya, sebagian yang lain menyampaikan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara mutlak.
7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh
BAB VII
FAEDAH KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH DAN KEDUDUKANNYA DIANTARA ILMU-ILMU SYARA’
1. Faedah Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Manfaat sesuatu sanggup dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul fiqh itu sendiri.. Setiap insan berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, kalau tidak ada maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat dibagi dua, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia yaitu sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di alam abadi nanti.
Setelah ilmu aqidah, ilmu yang membahas wacana hukum-hukum simpel merupakan ilmu yang paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini sanggup di ketahui, baik dengan cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar taqlid tidak sama derajatnya kalau dibandingkan dengan beribadah atas dasar ijitihad. Imam Ghazali berkata:” Sebaik-baik ilmu yaitu ilmu yang menggabungkan antara nalar dan as-sam’ (Al-Qur’an dan Sunnah) dan yang menyertakan pendapat dan syara’”.
Abu Bakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa Nash yang meliputi segala bencana tidak ada, dan hukum-hukum mempunyai ushul dan furu’ , dan furu’ tidak sanggup diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak sanggup di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini diambil dari syara’ dan nalar yang suci secara bersamaan. Ia tidak menolak syara’ tidak pula menolak akal. Karena keutamaan ilmu ini lah, banyak orang yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya yaitu ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya ,memiliki banyak pengikut dan murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk mengetahui hukum-hukum furu“.
Diantara faedah kaidah-kaidah ushul fiqh adalah:
1. Dapat mengangkat derajat seseorang dari taqlid menjadi yaqin. Allah berfirman yang artinya:” pasti Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kau kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
2. Kaidah-kaidah ushul merupakan asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam lainnya. Maka ilmu fiqh, tafsir, hadits dan ilmu kalam tidak akan tepat tanpanya. Kaidah-kaidah ushul menimbulkan pemahaman terhadap al-quran dan sunnah dan sumber-sumber islam lainnya menjadi akurat.
3. Dengan memahami kaidah-kaidah ushul, seseorang sanggup dengan gampang mengambil kesimpulan-kesimpulan aturan syari’ah al-far’iyyah dari dalil-dalilnya pribadi dan terus melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul merupakan sarana yang menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh.
4. kaidah-kaidah ushul berusaha membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk yang baru, lebih singkat dan akurat yang sanggup membantu seorang mujtahid dalam pengambilan hukum.
5. Seorang yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya akan sanggup dengan gampang mengcounter pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum islam yang telah mapan menyerupai wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
6. Tujuan selesai yaitu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Kedudukan Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
2. Kedudukan Kaidah-Kaidah Ushul Fiqh
Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema, objek, tujuan, apa yang di bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta maslahat yang dihasilkannya. Semakin besar faedahnya semakin tinggi pula kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul mempunyai kedudukan tinggi, yaitu berada pada urutan pertama sehabis ilmu akidah.
Penjelasannya:
1. Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada klarifikasi faedah-faedah ushul fiqh diatas.
1. Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun telah jelaskan pada klarifikasi faedah-faedah ushul fiqh diatas.
2. Dari segi objeknya, penyusun telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul yaitu ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai ushul fiqh untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh mempunyai kedudukan tinggi dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas menambah keakuratan ushul fiqh?
3. Dari segi tujuannya, tujuannya yaitu pengambilan aturan syara’ yang simpel dari dalil-dali syara’ dan memperjuangkannya serta memperlihatkan keakuratan dalam berijtihad dan kondisi mujtahid. Usaha untuk mengetahui hukum-hukum Allah yaitu merupakan kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan kita di dalam kehidupan ini. Ilmu apapun yang mempunyai tujuan ini yaitu ilmu yang mempunyai kedudukan tinggi.
4. Dari segi kebutuhan. Tidak ada kebahagiaan didunia maupun di alam abadi tanpa syari’at Allah. Dan syariat Allah tidak akan sanggup diketahui tanpa kaidah-kaidah ushul. Ma la yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.
BAB VIII
BUKU-BUKU KARANGAN ULAMA TENTANG
KAIDAH-KAIDAH USHUL
Sebenarnya berbagai buku-buku wacana kaidah-kaidah ushul yang dikarang para ulama semenjak dahulu hingga awal masa 20 dan dari awal masa 20 hingga sekarang, tetapi pada kepingan ini penyusun hanya akan menyebutkan nama-nama buku yang membahas wacana kaidah-kaidah ushul yang merupakan acuan utama dalam problem ini. Bagi yang ingin mengetahui lebih, sanggup membaca buku Nadzoriyah at taq’id al Ushuly karya Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badaroin atau buku-buku lainnya.
Diantara buku-buku itu adalah:
1. Ta’sis An Nazor karya Ubaidillah bin Umar bin Isa Ad Dabusy (364-430 H)
2. Takhrijul Al-Furu’ Ala Al-Ushul karya Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Abu Al Manqib Al Jinzani (573-656 H)
3. Miftah Al-Wusul ila takhrij al-furu’ ala al-Ushul karya Syarif At Tilmisany (710-771 H)
4. At Tamhid fi at-takhrij al-furu’ ala al-ushul karya Al Isnawi (7.4-772 H)
5. Al-Qowaid wa al-Fawaid Al-Ushuliyah wa ma yata’allaqu biha min al-Ahkam al-far’iyyah karya Ibn Al-Liham Al Hanbaly ( wafat tahun 803 H)
6. Al-Wusul ila Qowaid al-ushul karya imam Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Al Hanafy ( wafat tahun 1007 H)
7. At-Tahrir karya Kamal bin Al Hamam (matan)
8. At-Tanqih karya Ibnu Mas’ud Al-Hanafi (matan)
9. Mu’tasar al-muntaha al-ushuly karya Ibnu Al-Hajib (matan)
10. Al-Waroqot fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Juwaini
11. Minhaj Al-Ushul ila ilmi al-ushul karya Al-Baidawy
12. Raudhatunnazir wa jannatul muanzir karya Ibnu Qudamah
13. Al-Ihkam fi Ushul al-ahkam karya Al-Amadi
14. Al-Irsyad wa at-taqrib karya Abu Bakar Al-Baqillani
15. Ushul Fiqh karya Syekh Al-Hadary (wafat tahun 1927 M)
16. Ilmu Ushul fiqh karya Syekh Abdul Wahab Khalaf (1888 – 1956 M)
17. Taqnin Ushul Fiqh karya Dr. Muhammad Zaki Abdul Bar
BAB IX
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah ushul fiqh yaitu ilmu yang mandiri. Seluruh ulama setuju bahwa perbedaan antara ilmu dengan ilmu yang lain disebabkan oleh faktor tema atau objek serta tujuan dari ilmu itu sendiri. Ilmu Kaidah-kaidah ushul fiqh mempunyai objek dan tujuan yang berbeda dengan ilmu lainnya bahkan berbeda dengan objek serta tujuan ilmu Ushul fiqh. Itu artinya ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh yaitu ilmu yang berdiri sendiri.
2. Kaidah-kaidah ushul, apakah merupakan dalil atau tidak sanggup dikategorikan pada dua kategori yaitu: Pertama: Kaidah-kaidah ushul yang berdiri sendiri yaitu yang berpatokan pada sumber-sumber islam menyerupai Al qur’an yaitu hujjah, begitu juga dengan sunnah, ijma’ qiyas, masholih mursalah, saddu ad dzaroi’ dan Istishab. Diantara kaidah ini ada yang disepakati oleh ulama sebagai hujjah dan ada yang masih dalam perdebatan dikalangan ulama. Kedua: Kaidah-kaidah yang tidak berdiri sendiri tetapi hanya sebuah alat. Kaidah-kaidah itu yaitu yang diambil dari bahasa arab dan lainnya. Yang kedua ini bukan merupakan dalil yang berdikari tetapi hanya berfungsi sebagai sarana.
3. Ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh tidak sanggup dipisahkan dari ilmu ushul fiqh itu sendiri. Karena ilmu ini merupakan kepingan dari ilmu ushul fiqh. Hubuangan antara keduanya yaitu kekerabatan antara umum dan khusus.
Saran
Penyusun makalah ini hanya insan yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan sedikit buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan semoga para pembaca yang ingin mendalami problem Qawaidul Ushuliyah, semoga sehabis membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, menyerupai buku-buku yang penyusun tulis dalam kepingan VIII atau buku-buku lain yang tidak kalah pentingnya dari buku-buku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Aiman Abdul Hamid Al-Badrain, 2005, Nadzoriyyah At-Taq’id Al-Ushuly, Kairo: Dar Ibn Hajm
Dr. Muhammad Dzuhaily, 2004, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah ala Al-Madzhab Al-Hanafy wa As-Safi’I, Kuwait: Majlis Al-Nasr Al-’Ilmy
Dr. Abdul Karim Zaidan, 2006, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qowaid Al-Fiqhiyah fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, Beirut-Libanon: Muassasah Ar Risalah Nasyirun
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ilm Al-Ushul, Beirut : Dar El-Kutub El-Ilmiyah, cetakan tahun 1413 H
Al-Jailany Al-Marini, Al-Qowaid Al-Ushuliyah wa tatbiqotiha ‘inda Ibn Quddamah fi kitab Al-Mugni, Kairo : Dar Ibn Affan, cetakan pertama tahun 2002 M
Syabir, Muhammad Utsman, Al-Qowaid al-Kulliyah wa ad-Dhowabit Al-Fiqhiyah, Yordania : Dar El-Furqon, cetakan pertama, tahun 2000