Salam teman - teman sejawat semua, terima kasih sudah berkunjung ke blog kami, pada kesempatan kali ini admin akan mencoba membahas wacana askep lupus, asuhan keperawatan lupus atau askep lupus yakni rangkaian tindakan atau asuhan yang akan diberikan oleh perawat kepada klien yang sedang menderita penyakit lupus, lupus itu sendiri adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya badan pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ badan sendiri, menyerupai ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan basil ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
dokumentasi askep lupus biasanya sering dibentuk oleh seorang mahasiswa keperawatan yang sedang praktek dirumah sakit biasanya perkara ini lebih banyak ditemukan diruangan penyakit dalam, dan juga askep lupus sering pula dibentuk oleh mahasiswa profesi ners yang sedang menjalankan keprofesian dirumah sakit. dan juga bagi perawat yang sudah bekerja juga sering menciptakan dokumentasi askep lupus untuk keperluan menciptakan jurnal atau pun makalah yang bermanfaat sebagai syarat biar bisa menjadi seorang pegawai tetap dalam sebuah rumah sakit.
dalam sebuah askep lupus biasanya untuk kelengkapannya dilengkapi dengan laporan pendahuluan yaitu tinjauan teori yang dibentuk untuk mengawali pembuatan askep lupus, susunan askep lupus terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. menciptakan sebuah askep lupus yang baik bukanlah pekara yang gampang namun juga bukan pekara yang amat sulit, didalam penyusunan nya setidaknya kita harus mempunyai landasan teori wacana penyakit lupus yang biasa disebut dengan laporan pendahuluan / LP lupus. yang dijadikan patokan untuk menegakkan diagnosa - diagnosa medis dan diagnosa keperawatan menurut perjalanan penyakit lupus tersebut.
bertujuan untuk membantu teman sejawat yang lagi membutuhkan asuhan keperawatan lupus atau askep lupus. disini kami mencoba menuliskan askep lupus yang mungkin bisa dijadikan rujukan bagi teman sejawat sekalian dalam pembuatan kiprah perkuliahan maupun kiprah pekerjaan.
oke bagi teman - teman yang membutuhkan silahkan dibaca dan boleh copy askep lupus yang kami sediakan dibawah ini.
Penyakit lupus yakni penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya badan pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ badan sendiri, menyerupai ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan basil ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus yakni penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ badan yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. Pada satu perkara penyakit ini bisa menciptakan kulit menyerupai ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada perkara lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian sanggup mengakibatkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) yakni penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya banyak sekali macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) yakni penyakit radang atau imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga lantaran adanya perubahan system imun (Albar, 2003).
Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini memperlihatkan bahwa hormon yang terdapat pada perempuan mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon perempuan ketika ini masih dalam kajian.
Patofisiologis
Penyakit SLE terjadi akhir terganggunya regulasi kekebalan yang mengakibatkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu menyerupai hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping masakan menyerupai kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akhir senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang sempurna pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong gila terhadap sel TCD 4+, menimbulkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai kesudahannya munculah sel T autoreaktif yang akan mengakibatkan induksi serta perluasan sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon sec, sinar ultraviolet dan banyak sekali macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen target ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bahu-membahu disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun.
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada banyak sekali macam organ dengan akhir terjadinya fiksasi pelengkap pada organ tersebut. Peristiwa ini mengakibatkan aktivasi pelengkap yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ tanda-tanda pada organ atau kawasan yang bersangkutan menyerupai ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya prosedur regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
Fathway
Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) memilih tanda-tanda mana yang akan berkembang. Karena itu, tanda-tanda dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan hingga penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas tanda-tanda (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. Sistem Muskuloskeletal
2. Sistem Integument (Kulit)
3. Sistem kardiak
4. Sistem pernafasan
5. Sistem vaskuler
6. Sistem perkemihan
7. Sistem saraf
Prognosis
Karena perjalanan lupus tak sanggup diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas tanda-tanda yang sanggup berakhir dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi sehabis menopous. Prognosis penyakit ini semakin membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini.
Biasanya, jikalau inflamasi awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya yakni baik. Jika tanda-tanda lupus disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian obat akan menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan sanggup memakan waktu berbulan-bulan.
Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk memilih adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang dipakai untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain yakni antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar pelengkap (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
Tinjauan Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE yakni untuk mengurangi tanda-tanda penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memperlihatkan edukasi kepada pasien wacana manifestasi dan imbas samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000), sebagai berikut :
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE yakni lemah sehingga diharapkan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok lantaran hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang sanggup memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet sanggup menurunkan produksi sitokin proinflamasi menyerupai IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan memakai pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID mempunyai imbas antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID sanggup dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari perantara inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis badan menyerupai produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID yakni perdarahan susukan cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang mempunyai efektivitas menyerupai inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap imbas samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 hingga 2 ahad untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang dipakai tidak efektif dan menimbulkan imbas samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 hingga 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan imbas samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka sanggup dipakai imunosupresan menyerupai kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
4. Antimalaria
Antimalaria efektif dipakai untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak mengakibatkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa prosedur agresi dari obat antimalaria yakni stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan kegiatan sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 hingga 2 ahad awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 ahad pertama. Jika pasien memperlihatkan respon yang baik maka takaran diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan hingga manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dilarang sebaiknya dilakukan tapering takaran dengan memperlihatkan obat malaria takaran rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh sehabis 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
5. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memperlihatkan respon terhadap penggunaan obat lain menyerupai NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jikalau diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai prosedur kerja sebagai antiinflamasi melalui kendala enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk perantara – perantara inflamasi menyerupai leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke kawasan terjadinya inflamasi. Sedangkan imbas imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE yakni untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya mendapatkan kortikosteroid takaran tinggi selama 3 hingga 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi imbas samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering dipakai yakni metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien memperlihatkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang memperlihatkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 hingga 10 ahad pemberian glukokortikoid Kadar pelengkap dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 hingga 3 minggu. Beberapa manifestasi menyerupai vaskulitis, serositis, ketaknormalan hematologik, ketaknormalan CNS umumnya memperlihatkan respon dalam 5 hingga 19 hari.
Oral prednison lebih sering dipakai daripada deksametason lantaran waktu paronya lebih pendek dan lebih gampang apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan tanda-tanda yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 ahad maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 ahad berikutnya maka dilakukan tapering takaran menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan yakni ketika akan melaksanakan tapering takaran prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati lantaran sanggup terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang sanggup mengakibatkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering takaran sanggup dilakukan dengan gampang yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melaksanakan tapering takaran lantaran penggunaan takaran tinggi lebih efektif untuk mengontrol tanda-tanda (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid takaran tinggi sanggup mengakibatkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diharapkan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid sanggup mensupresi sistem imun sehingga sanggup meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab janjkematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang mendapatkan kortikosteroid lantaran kortikosteroid sanggup mengakibatkan penurunan perembesan kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh lantaran itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik materi pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, kegiatan mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang mengakibatkan janjkematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan mengakibatkan pemfokusan secara pribadi pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi takaran tinggi sanggup berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh lantaran itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan yakni takaran optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar pelengkap (C3) sehingga sanggup mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid takaran tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter memperlihatkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi takaran steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid yakni mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah sanggup dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang sanggup mengakibatkan kegagalan ovarian pada perempuan yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
7. Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada laki-laki yang diproduksi pada ketika masih fetus dan berhenti sehabis dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memperlihatkan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai imbas samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai prosedur menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang sanggup dipakai untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian prosedur secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan sanggup menurunkan sistem imun sehingga sanggup mengakibatkan badan gampang terjangkit infeksi. Infeksi yang umum menyerang yakni virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster sanggup diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella sanggup diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan p3enisilin dan sefalosporin tidak dipakai lantaran mengakibatkan rash yang sensitif sehingga sanggup memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida sanggup diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
Penatalaksanaan
1. Anamnesis riwayat kesehatan kini dan investigasi fisik difokuskan pada tanda-tanda kini dan tanda-tanda yang pernah dialami menyerupai keluhan gampang lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan imbas tanda-tanda tersebut terhadap gaya hidup serta gambaran diri pasien.
2. Kulit
5. Sistem integumen
Diagnosa Keperawatan
Intervensi (Rencana Tindakan)
Diagnosa 1
Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan :
IntervensiMandiri : 1)
Diagnosa 2
Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan : Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
Kriteria Hasil : Kulit sanggup terpelihara dan terawat dengan baik.
Rencana Tindakan (intervensi)
Intervensi Mandiri
Intervensi Kolaborasi
Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.
Tujuan :
Intervensi
Sumber http://bangsalsehat.blogspot.comAskep Lupus |
Laporan pendahuluan Askep Lupus
Defenisi Penyakit LupusPenyakit lupus yakni penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya badan pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ badan sendiri, menyerupai ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan basil ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus yakni penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ badan yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. Pada satu perkara penyakit ini bisa menciptakan kulit menyerupai ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada perkara lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian sanggup mengakibatkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) yakni penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya banyak sekali macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) yakni penyakit radang atau imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga lantaran adanya perubahan system imun (Albar, 2003).
Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini memperlihatkan bahwa hormon yang terdapat pada perempuan mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon perempuan ketika ini masih dalam kajian.
Patofisiologis
Penyakit SLE terjadi akhir terganggunya regulasi kekebalan yang mengakibatkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu menyerupai hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping masakan menyerupai kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akhir senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang sempurna pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong gila terhadap sel TCD 4+, menimbulkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai kesudahannya munculah sel T autoreaktif yang akan mengakibatkan induksi serta perluasan sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon sec, sinar ultraviolet dan banyak sekali macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen target ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bahu-membahu disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun.
Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada banyak sekali macam organ dengan akhir terjadinya fiksasi pelengkap pada organ tersebut. Peristiwa ini mengakibatkan aktivasi pelengkap yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ tanda-tanda pada organ atau kawasan yang bersangkutan menyerupai ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya prosedur regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
Fathway
Fathway Askep Lupus |
Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak diketahui) memilih tanda-tanda mana yang akan berkembang. Karena itu, tanda-tanda dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan hingga penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas tanda-tanda (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.
1. Sistem Muskuloskeletal
- Artralgia
- artritis (sinovitis)
- pembengkakan sendi,
- nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan
- rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integument (Kulit)
- Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi, dan
- Ulkus oral sanggup mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
- Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
- Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
- Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
- beritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
- Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
- Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan meliputi seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
Prognosis
Karena perjalanan lupus tak sanggup diramalkan, maka prognosisnya sangat bervariasi. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali dengan periode bebas tanda-tanda yang sanggup berakhir dalam hitungan tahun. Flare jarang terjadi sehabis menopous. Prognosis penyakit ini semakin membaik dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini.
Biasanya, jikalau inflamasi awal dikendalikan, prognosis jangka panjangnya yakni baik. Jika tanda-tanda lupus disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian obat akan menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan sanggup memakan waktu berbulan-bulan.
Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk memilih adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan Laboratorium
- Tes Anti ds-DNA,
- Tes Antinuclear antibodies (ANA)
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang dipakai untuk menunjang diagnosa serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain yakni antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar pelengkap (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
- Ruam kulit atau lesi yang khas.
- Rontgen dada memperlihatkan pleuritis atau perikarditis.
- Pemeriksaan dada dengan dukungan stetoskop memperlihatkan adanya tabrakan pleura atau jantung.
- Analisa air kemih memperlihatkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
- Hitung jenis darah memperlihatkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
- Biopsi ginjal.
- Pemeriksaan saraf.
Tinjauan Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE yakni untuk mengurangi tanda-tanda penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memperlihatkan edukasi kepada pasien wacana manifestasi dan imbas samping dari terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al., 2000), sebagai berikut :
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE yakni lemah sehingga diharapkan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok lantaran hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang sanggup memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet sanggup menurunkan produksi sitokin proinflamasi menyerupai IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan memakai pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
3. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID mempunyai imbas antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID sanggup dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari perantara inflamasi termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis badan menyerupai produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID yakni perdarahan susukan cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang mempunyai efektivitas menyerupai inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap imbas samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 hingga 2 ahad untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang dipakai tidak efektif dan menimbulkan imbas samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 hingga 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan imbas samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka sanggup dipakai imunosupresan menyerupai kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).
4. Antimalaria
Antimalaria efektif dipakai untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak mengakibatkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa prosedur agresi dari obat antimalaria yakni stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan leukotrien, penurunan kegiatan sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF- α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 hingga 2 ahad awal terapi dan kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 ahad pertama. Jika pasien memperlihatkan respon yang baik maka takaran diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan hingga manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan dilarang sebaiknya dilakukan tapering takaran dengan memperlihatkan obat malaria takaran rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh sehabis 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).
5. Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memperlihatkan respon terhadap penggunaan obat lain menyerupai NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jikalau diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai prosedur kerja sebagai antiinflamasi melalui kendala enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk perantara – perantara inflamasi menyerupai leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke kawasan terjadinya inflamasi. Sedangkan imbas imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE yakni untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya mendapatkan kortikosteroid takaran tinggi selama 3 hingga 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi imbas samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering dipakai yakni metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien memperlihatkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang memperlihatkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 hingga 10 ahad pemberian glukokortikoid Kadar pelengkap dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 hingga 3 minggu. Beberapa manifestasi menyerupai vaskulitis, serositis, ketaknormalan hematologik, ketaknormalan CNS umumnya memperlihatkan respon dalam 5 hingga 19 hari.
Oral prednison lebih sering dipakai daripada deksametason lantaran waktu paronya lebih pendek dan lebih gampang apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan tanda-tanda yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 ahad maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 ahad berikutnya maka dilakukan tapering takaran menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan yakni ketika akan melaksanakan tapering takaran prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati lantaran sanggup terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang sanggup mengakibatkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering takaran sanggup dilakukan dengan gampang yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melaksanakan tapering takaran lantaran penggunaan takaran tinggi lebih efektif untuk mengontrol tanda-tanda (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid takaran tinggi sanggup mengakibatkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga diharapkan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid sanggup mensupresi sistem imun sehingga sanggup meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab janjkematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang mendapatkan kortikosteroid lantaran kortikosteroid sanggup mengakibatkan penurunan perembesan kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh lantaran itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
6. Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik materi pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, kegiatan mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang mengakibatkan janjkematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan mengakibatkan pemfokusan secara pribadi pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi takaran tinggi sanggup berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh lantaran itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu diperhatikan yakni takaran optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan meningkatkan kadar pelengkap (C3) sehingga sanggup mengatasi lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid takaran tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter memperlihatkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi takaran steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid yakni mual, muntah, diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah sanggup dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang sanggup mengakibatkan kegagalan ovarian pada perempuan yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
7. Terapi hormon
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada laki-laki yang diproduksi pada ketika masih fetus dan berhenti sehabis dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memperlihatkan respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai imbas samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai prosedur menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang sanggup dipakai untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian prosedur secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).
8. Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan sanggup menurunkan sistem imun sehingga sanggup mengakibatkan badan gampang terjangkit infeksi. Infeksi yang umum menyerang yakni virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster sanggup diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella sanggup diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan p3enisilin dan sefalosporin tidak dipakai lantaran mengakibatkan rash yang sensitif sehingga sanggup memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari Candida sanggup diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung, 2002).
Penatalaksanaan
- Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon 1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jikalau membaik dilakukan tapering off).
- AINS (Aspirin 80 mg/hr hingga 2 ahad sebelum TP).
- Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
- Siklofospamid, diberikan pada perkara yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.
Asuhan Keperawatan Lupus
Pengkajian1. Anamnesis riwayat kesehatan kini dan investigasi fisik difokuskan pada tanda-tanda kini dan tanda-tanda yang pernah dialami menyerupai keluhan gampang lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan imbas tanda-tanda tersebut terhadap gaya hidup serta gambaran diri pasien.
2. Kulit
- Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
- Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
- Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis memperlihatkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
- Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
- Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
- Ulkus oral sanggup mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
- Pleuritis atau efusi pleura.
- Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
- Edema dan hematuria.
- Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
Diagnosa Keperawatan
- Nyeri berafiliasi dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
- Kerusakan integritas kulit berafiliasi dengan proses penyakit.
- Kurang pengetahuan berafiliasi dengan kurangnya sumber informasi.
Intervensi (Rencana Tindakan)
Diagnosa 1
Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan :
- Gangguan nyeri sanggup teratasi
- Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
- Skala Nyeri : 1-10
IntervensiMandiri : 1)
- Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-10). Rasional: Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.
- Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka. Rasional : suhu berubah dan gerakan udara sanggup mengakibatkan nyeri jago pada pemajanan ujung saraf.
- Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, epilog badan hangat. Rasional : pengaturan suhu sanggup hilang lantaran luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil.
- Lakukan penggantian balutan dan debridemen sehabis pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi. Rasional : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.
- Dorong verbal perasaan wacana nyeri. Rasional : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan sanggup meningkatkan prosedur koping.
- Dorong penggunaan teknik administrasi stress, pola relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang sanggup menurunkan ketergantungan farmakologis.
- Berikan kegiatan terapeutik sempurna untuk usia/kondisi. Rasional : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.
- Berikan analgesic sesuai indikasi. Rasional : membantu mengurangi nyeri.
Diagnosa 2
Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.
Tujuan : Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit
Kriteria Hasil : Kulit sanggup terpelihara dan terawat dengan baik.
Rencana Tindakan (intervensi)
Intervensi Mandiri
- Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan. Rasional : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status sanggup di bandingkan dan melaksanakan intervensi yang tepat.
- Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, contohnya membasuh kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melaksanakan masase dengan memakai lotion atau krim. Rasional : mempertahankan kebersihan lantaran kulit yang kering sanggup menjadi barier infeksi.
- Gunting kuku secara teratur. Rasional : kuku yang panjang dan garang meningkatkan risiko kerusakan dermal.
- Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk. Rasional : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
Intervensi Kolaborasi
- gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi Rasional : Digunakan pada perawatan lesi kulit.
Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.
Tujuan :
- Memberikan informasi wacana penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).
- Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang diberikan
Intervensi
- Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi impian di masa depan. Rasional : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien sanggup menciptakan pilihan menurut informasi.
- Tinjau ulang cara penularan penyakit. Rasional : mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
- Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang sanggup di toleransi pasien. Rasional : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
- Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan penilaian Rasional : memberi kesempatan untuk mengubah hukum untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.
- Identifikasi sumber-sumber komunitas, contohnya rumah sakit sebelumnya/pusat perawatan kawasan tinggal. Rasional : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan kemandirian.