Friday, April 14, 2017

√ Artikel Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support)

BANTUAN HIDUP DASAR (BASIC LIFE SUPPORT)



Adalah perjuangan yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa memakai alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara sempurna keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera menawarkan dukungan sirkulasi dan ventilasi.
Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman memperlihatkan bahwa resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan “henti jantung” yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh orang yang berada di sekitar korban.
Bila terjadi nafas primer, jantung terus sanggup memompa darah selama beberapa menit dan sisa O2 yang berada dalam paru darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas sanggup mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti jantung sanggup disertai dengan fenomena listrik berikut : fibrilasi fentrikular, takhikardia fentrikular, asistol ventrikular atau disosiasi elektromekanis.
Penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi mencakup posisi pembukaan jalan nafas buatan dan kompresi dada luar dilakukan jika memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap langkah ABC RJP dimulai dengan penentuan tidak ada respon, tidak ada nafas dan tidak ada nadi. Pada korban yang tiba- datang kolaps, kesadaran harus segera ditentukan dengan tindakan goncangan atau teriak yang terdiri dari menggoncangkan korban dengan lembut dan memanggil keras. Bila tidak dijumpai tanggapan hendaknya korban diletakkan dalam posisi terlentang dan ABC BHD hendaknya dilakukan. Sementara itu mintalah pertolongan dan bila mungkin aktifitaskan sistem pelayanan medis darurat.
1.      Airway (Jalan Nafas)
Sumbatan jalan nafas oleh pengecap yang menutupi dinding posterior faring yaitu merupakan problem yang sering timbul pada pasien yang tidak sadar dengan posisi terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila sumbatan tidak diatasi. Tiga cara telah dianjurkan untuk menjaga semoga jalan nafas tetap terbuka yaitu dengan metode ekstensi kepala angkat leher, metode ekstensi kepala angkat dagu dan metode angkat dagu dorong mandibula, dimana metode angkat dagu dorong mandibula lebih efektif dalam membuka jalan nafas atas daripada angkat leher.
Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling kondusif untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang leher. Bila korban yang tidak sadar bernafas impulsif dan adekuat dengan tidak ada sianosis, korban sebaiknya diletakkan dalam posisi mantap untuk mencegah aspirasi. Bila tidak diketahui atau dicurigai ada trauma kepala dan leher, korban hanya digerakkan atau dipindahkan bila memang mutlak diharapkan alasannya gerak yang tidak betul sanggup menjadikan paralisis pada korban dengan cedera leher. Disini teknik dorong mandibula tanpa ekstensi kepala merupakan cara yang paling kondusif untuk membuka jalan nafas, bila dengan ini belum berhasil sanggup dilakukan sedikit ekstensi kepala.
2.      Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah pasien sanggup bernafas impulsif atau tidak. Ini sanggup dilakukan dengan mendengarkan gerak nafas pada dada korban. Bila pernafasan impulsif tidak timbul kembali diharapkan ventilasi buatan.Untuk melaksanakan ventilasi lisan ke lisan penolong hendaknya mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu perilaku yang telah disebutkan diatas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau dua kali ventilasi dalam. Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih memiliki denyut nadi diberikan ventilasi yang dalam sebesar 800 ml hingga 1200 ml setiap 5 detik.
Bila denyut nadi karotis tidak teraba, dua kali ventilasi dalam harus diberikan sehabis tiap 15 kompresi dada pada resusitasi yang dilakukan oleh seorang penolong dan satu ventilasi dalam sehabis tiap 5 kompresi dada pada yang dilakukan oleh 2 penolong. Tanda ventilasi buatan yang adekuat yaitu dada korban yang terlihat naik turun dengan amplitudo yang cukup ada udara keluar melalui hidung dan lisan korban selama respirasi sebagai pemanis selama pemberian ventilasi pada korban, penolong sanggup mencicipi tahanan dan pengembangan paru korban dikala diisi.
Pada beberapa pasien ventilasi lisan ke hidung mungkin lebih efektif daripada fentilasi lisan ke mulut. Ventilasi lisan ke stoma hendaknya dilakukan pada pasien dengan trakeostomi. Bila ventilasi lisan ke lisan atau lisan ke hidung tidak berhasil baik walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi atau benda asing.Pada tindakan jari menyapu, korban hendaknya digulingkan pada salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka lisan korban dengan satu tangan memegang pengecap dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain kedalam satu sisi lisan korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen atau hentakan dada, sehingga tekanan udara dalam abdomen meningkat dan akan mendorong benda untuk keluar.Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, teknik ini sama dengan kompresi dada luar.

Urutan yang dianjurkan yaitu :
a.       Berikan 6 hingga 10 kali hentakan abdomen.
b.      Buka lisan dan lakukan sapuan jari.
c.       Reposisi pasien, buka jalan nafas dan coba beri ventilasi buatan sanggup dilakukan dengan sukses.
Bila sehabis dilakukan gerak tripel (ekstensi kepala, buka lisan dan dorong mandibula), pencucian lisan dan faring ternyata masih ada sumbatan jalan nafas, sanggup dicoba pemasangan pipa jalan nafas. Bila dengan ini belum berhasil perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila mustahil atau tidak sanggup dilakukan intubasi trakheal, sebagai alternatifnya yaitu krikotomi atau fungsi membrane krikotiroid dengan jarum berlumen besar (misal dengan kanula intravena 14 G). Bila masih ada sumbatan di bronkhus maka perlu tindakan pengeluaran benda aneh dari bronkhus atau terapi bronkhospasme dengan aminophilin atau adrenalin.
3.      Circulation (Sirkulasi)
Bantuan ketiga dalam BHD yaitu menilai dan membantu sirkulasi. Tanda- tanda henti jantung adalah:
a.       Kesadaran hilang dalam waktu 15 detik setelah henti jantung.
b.      Tak teraba denyut nadi arteri besar (femoralis dan karotis pada orang remaja atau brakhialis pada bayi).
c.       Henti nafas atau megap- megap.
d.      Terlihat ibarat mati.
e.       Warna kulit pucat hingga kelabu.
f.       Pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung)
g.      Tidak ada nadi yang teraba pada arteri besar, investigasi arteri karotis sesering mungkin merupakan tanda utama henti jantung.
Diagnosis henti jantung sanggup ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar diharapkan pada keadaan sangat gawat.Korban hendaknya terlentang pada permukaan yang keras semoga kompresi dada luar yang dilakukan efektif. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan sebelah tangannya diatas tengah pertengahan bawah sternum korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari dari persambungan episternum. Tangan penolong yang lain diletakkan diatas tangan pertama, jari- jari terkunci dengan lurus dan kedua pundak sempurna diatas sternum korban, penolong menawarkan tekanan ventrikel ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4 hingga 5 cm.
Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat dari dada korban, dianjurkan usang kompresi sama dengan usang relaksasi. Bila ada satu penolong, 15 kompresi dada luar (laju 80 hingga 100 kali/ menit) harus diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2 hingga 3 detik). Dalam satu menit harus ada 4 siklus kompresi dan ventilasi (yaitu minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi). Kaprikornus 15 kali kompresi dan 2 ventilasi harus jawaban maksimal dalam 15 detik. Bila ada 2 penolong, kompresi dada diberikan oleh satu penolong dengan laju 80 hingga 100 kali/ menit dan pemberian satu kali ventilasi dalam 1 hingga 1,5 detik oleh penolong kedua sehabis tiap kompresi kelima. Dalam satu menit minimal harus ada 60 kompresi dada dan 12 ventilasi. Kaprikornus lima kompresi dan satu ventilasi maksimal dalam 5 detik.Kompresi dada harus dilakukan secara halus dan berirama.
Bila dilakkan dengan benar, kompresi dada luar sanggup menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg, dan tekanan rata- rata 40 mmHg pada arteri karotis. Kompresi dada tidak boleh terputus lebih dari 7 detik setiap kalinya, kecuali pada intubasi trakheal, transportasi naik turun tangga sanggup hingga 15 detik. Sesudah 4 daur kompresi dan ventilasi dengan rasio 15 : 2, lakukan reevaluasi pada pasien.

Periksa apakah denyut karotis sudah timbul (5 detik). Bila tidak ada denyut lanjutkan dengan langkah berikut : Periksa pernafasan 3 hingga 5 detik bila ada, pantau pernafasan dan nadi dengan ketat. Bila tidak ada lakukan ventilasi buatan 12 kali per menit dan pantau nadi dengan ketat. Bila RJP dilanjutkan beberapa menit dihentikan, periksa apakah sudah timbul nadi dan ventilasi impulsif begitu seterusnya.




Sumber http://macrofag.blogspot.com